Page 251 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 251

sebagai  netral?  Artinya,  tanpa  harus  membenci  yang  tidak
                 kerdil?”  Aku  tahu,  dalam  catatan  hariannya  itu  Parang  Jati
                 seperti Nyi Manyar. Ia berbicara mengenai hal yang lebih luas
                 daripada kasus yang sedang dihadapinya.
                     Akhirnya  Jati  berdiri  dan  mengacungkan  tangan.  “Saya
                 senang saja main jadi Belanda. Tidak main juga senang. Tapi
                 saya  tidak  senang  kalau  dibilang  jati  diri  bangsa  Jawa  itu
                 kerdil.”
                     “Aku tidak bilang kerdil. Aku bilang cilik!” bantah Kupu.
                     Parang Jati menjawab tenang. “Cilik itu artinya akan besar.
                 Kerdil ya kerdil terus. Jati diri itu sesuatu yang terus.”
                     Pak Guru menengahi. Usul dan kritik diterima. Maka hari
                 itu  terpilihlah  peran­peran  dalam  peperangan  antara  Sultan
                 Agung Mataram dan Belanda. Yang paling terang dan paling
                 rupawan di antara yang jangkung, ialah Parang Jati, menjadi
                 Kapiten  Mur.  Dialah  benggol  pasukan  kumpeni.  Yang  paling
                 rupawan  di  antara  yang  pendek,  ialah  Kupukupu,  menjadi
                 Sultan Agung. Dialah pahlawan bangsa.

                     Siang itu, Kupu berjalan pulang dengan jati diri baru. Ia
                 belum pernah melangkah lebih mantap dan lebih tegap dari­
                 pada sekarang. Dagunya terangkat. Di dalam penglihatannya
                 ia  telah  mengenakan  mantel  beledru  yang  berkibar­kibar  ke
                 belakang. Cahaya berpendar­pendar di ujung­ujung rambutnya
                 yang berjuraian bagai surai kuda perkasa. Ia berjalan dengan
                 pedang tergantung di pinggang. Ia mengenakan kasut bertali­
                 tali dan rompi kulit anak kambing. Dialah Sultan Agung yang
                 masih  muda.  Sang  Panembahan  Senapati.  Raja  Tanah  Jawa.
                 Inilah  saat  ia  paling  bahagia  dalam  hidupnya.  Sebab  segala
                 bangsa halus pun takluk kepadanya.
                     Tapi  langkahnya  terhenti.  Dari  kejauhan  dilihatnya  se­
                 suatu yang membuat ia cemas. Di satu­satunya jalan kerakal
                 menuju rumahnya, ada sebuah pohon kapuk besar. Dahannya


                                                                        2 1
   246   247   248   249   250   251   252   253   254   255   256