Page 317 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 317
Pak Pontiman mempersilakan tamu istimewa itu berbicara.
Jelaslah bagi para hadirin bahwa dua tamu itu adalah utusan
dari pusat untuk mencari bibitbibit putra bangsa yang baik.
Dengan bahasa yang terdengar kaku bagi anakanak desa,
lelaki berdahi hitam itu menjelaskan bahwa di era baru ini kita
perlu mencetak manusiamanusia yang berilmu, beriman, dan
bertaqwa. Ini sudah era 90. Kita akan menyambut milenium
kedua. Kita perlu ilmu, iman, dan takwa—ia kerap sekali
mengulangi katakata itu, seolaholah rumusan demikian telah
terprogram di kepalanya untuk secara periodik muncul. Setelah
itu, ia memberi giliran pada rekannya, yang diperkenalkannya
sebagai wakil dari BPPT—Badan Penelitian dan Pengembangan
Teknologi—untuk berbicara.
“Kami ada program beasiswa,” pria yang lebih muda itu
langsung mewartakan. “Untuk sains dan teknologi,” lanjutnya
lagi, seolah memupuskan harapan mereka yang tak berbakat di
bidang ilmu pasti. Ada sedikit wajah kecewa. Tapi kebanyakan
anak yang ada di ruangan itu memiliki biji bagus dalam
pelajaran matematika dan ilmu alam. Sebagian, yang telah di
lanjutan atas, telah memilih jurusan ilmu pasti. “Kami akan
memilih putra terbaik dari desa ke desa, untuk dikirim belajar
di luar negeri.”
Terdengar gumam terpukau. Ke luar negeri?
“Ke Jerman, Belanda, Jepang…”
Terdengar desau mimpi anakanak itu.
“Kalian bisa belajar tentang fisika atom, nuklir, biologi
molekuler…”
Mendengar istilahistilah seram itu mimpi sebagian bocah
mulai berguguran. Seperti daundaun yang ditiup angin kele
wat deras. Rasanya tak mungkin mereka bisa mencapai itu.
Tapi ada satu yang matanya tetap berbinarbinar. Anak itu tak
kehilangan impian. Bahkan namanama ilmu nan mentereng
itu menambah pancaran di matanya. Dialah Kupukupu, yang
30

