Page 321 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 321
Pada hari H terjadi sesuatu yang telah bisa diduga. Dua
karangan terbaik datang dari dua bintang terang desa: Parang
Jati dan Kupukupu. Para juri awal, yaitu guruguru desa dan
kabupaten, telah memeriksa dan memilih dari tulisan murid
murid. Kini, para finalis diharuskan memperdebatkan dan
mempertahankan karangan mereka di muka penonton yang
boleh mendukung atau menggugat, dengan disaksikan juri ta
hap akhir. Juri—atau “yuri” seperti diucapkan Pak Pontiman—
tahap akhir ini terbentuk oleh perwakilan guru dan tetua desa,
guru kabupaten, dan tamu istimewa dari ibu kota: lelaki senior
yang berjanggut pendek dan berdahi hitam. Kali ini lelaki itu
tidak mengenakan seragam korpri, melainkan kemeja putih
berkerah tegak dengan songkok. Penghulu desa—yang disebut
oleh Yuda sebagai Penghulu Semar—tampak di antara para
“yuri” yang jumlahnya ganjil. Tujuh orang. Mereka duduk di
balik meja panjang agak di tepi kanan. Mereka melakukan
undi giliran. Kupukupu mendapat kesempatan pertama. Jati
kesempatan terakhir.
Berdirilah remaja itu di panggung. Dia, yang lima tahun
lalu menangis tujuh hari di pasir pantai laut Selatan hingga
matanya sembab dan rongga hidungnya bengkak, kini dia
telah bertambah tinggi. Suaranya nyaring, meski belum se
penuhnya lepas dari kekanakkanakan. Rahangnya mulai ke
ras. Kakinya menjadi kokoh. Tak ada yang tahu apakah di
dalam dirinya ia menyimpan dendam atas meninggalnya gadis
mungil Sriti kekasih hatinya. Si cantik yang mati mengenaskan
setelah memakan biskuit beracun. Bukan! Sriti mati setelah
memerankan Nyi Rara Kidul! Tidak ada yang tahu adakah ia
mendendam pada Ratu Laut Selatan. Ia sendiri tidak tahu.
Sebab ia terbiasa memendam kesedihan dan kemarahan ke
dasar jiwa. Ia telah terbiasa, sejak dari bayinya. Rasa sakit,
takut, dan marah memiliki saluran ke alam bawah sadar untuk
menjadi gelap dan tak bisa ia kenali lagi.
311