Page 328 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 328

Tanya jawab masih dilanjutkan beberapa menit lagi, sam­
               pai waktu dinyatakan betul­betul habis.


                   Suasana terasa tegang ketika dewan juri berapat. “Yuri”,
               seperti  ucap  Pak  Pontiman.  Limaratus  ribu  rupiah  hadiah­
               nya.  Angka  yang  besar  bagi  anak­anak  desa.  Sangat  berarti
               bagi  Kupukupu  yang  berbapak  pemecah  batu  penderes  nira.
               Belum  lagi,  kemenangan  ini—jika  ia  menang—akan  semakin
               melapangkan  jalannya  menjadi  kandidat  beasiswa  ke  luar
               negeri.  Ke  Jepang,  Jerman,  Belanda.  Negeri  yang  tak  terba­
               yangkan. Bintangnya akan terang benderang. Ia akan berkilau
               dan tampak dari kejauhan. Jantung Kupukupu berdebur penuh
               harapan. Tapi, kemudian rasa itu datang lagi. Rasa terancam.
               Kekhawatiran seperti akan dizalimi oleh para prajurit kumpeni
               yang menunggu di bawah pohon kapuk di jalan pulang men­
               jelang pementasan Sultan Agung Menyerbu Benteng Belanda.
               Ah, ia ingin membawa limaratus ribu untuk ayah ibunya. Tapi
               bagaimana  kalau  ia  dizalimi?  (Ia  tak  sadar,  begitu  mudah
               ia  merasa  akan  dizalimi.)  Ia  mencuri  pandang  kepada  lelaki
               berjanggut pendek berdahi hitam. Tempat bergantung yang ia
               tahu.
                   Lelaki itu tampak berdebat dengan Penghulu Semar, guru
               agama  pertamanya.  Penghulu  Semarlah  yang  mengajari  ia
               sembahyang  ketika  ia  menangis  oleh  ketakutan  akan  kutuk
               yang  akan  menimpa  Sriti.  Ketakutan  itu  hadir  lagi  sekarang.
               Betapapun sekilas. Ketakutan itu ada di dalam dirinya. Pera­
               saan Kupukupu semakin kacau.
                   Parang Jati duduk di pojok yang lain. Ia tak butuh lima­
               ratus ribu perak. Dan itu, secara ganjil dan tak baik, sudah me­
               rupakan kemenangannya. Ia merasa aneh bahwa ia menikmati
               luapan­luapan agresivitasnya. Menuduh syirik orang yang tak
               jelas  dengan  menuduh  picik  orang  yang  jelas  di  depan  mata
               tentulah  berbeda  rasa.  Yang  pertama  hanya  bagai  memukul


            31
   323   324   325   326   327   328   329   330   331   332   333