Page 327 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 327
“Kalau kita bayar pajak pada pemerintah, itu kan tidak ber
arti kita menyembah pemerintah. Apa pula mempersekutukan
nya dengan Tuhan. Pandangan ini berlebihan. Bayar pajak ya
biasabiasa aja, deh… Jangan semuanya jadi ideologis gitu!
“Jangan salah logika: hanya karena sajen dipersembahkan
pada yang tidak terlihat, dan kita juga tak bisa melihat Tuhan,
maka kita sendiri menyimpulkan bahwa sajen itu diberikan
pada yang dianggap sebagai tuhan, yakni berhala. Itu kesim
pulan kaca mata kuda namanya. Orang yang menghaturkan
sajen bisa saja menghayati perbuatannya dengan cara yang
sama sekali lain. Mereka mempersembahkan sajen itu kepada
yang mereka percaya telah menunggu alam ini sejak lebih dulu.
Keberadaan penunggu ini, dengan demikian, sama sekali tidak
bertentangan dengan pemahaman akan tuhan. Tuhan esa. Oke.
Penunggu ya penunggu. Seperti penjaga hutan yang dikasih
sogokan atas pekerjaannya menguasai hutan. Begitu saja.” Cara
Jati bicara berubah santai tanpa kehilangan agresivitas. Orang
orang tertawa.
Ia menyadari bahwa dirinya tenang dan tak mengeluarkan
uraturat kening. Ia menikmati penampilannya. Ia senang
melupakan temantemannya yang cacat, melupakan peran
untuk bersimpati dengan mereka.
“Jadi, kesimpulannya: Kepercayaan pada Ratu Kidul tidak
perlu dipertentangkan dengan pemahaman keagamaan atas
Tuhan yang Maha Esa. Titik! Keduanya bisa berjalan ber
dampingan. Titik!”
Orangorang bertepuk. Sekarang Jati tahu bahwa hadirin
tidak bertepuk karena isi atau karena setuju. Banyak orang
tidak memiliki koherensi di kepala mereka, seperti yang di
katakan Yuda kemudian hari. Mereka yang bertepuk baginya
adalah yang bertepuk juga bagi Kupukupu. Orang banyak biasa
bertepuk karena nada yang yakin dan tempo yang tepat. Nada
dan tempo, itulah yang sangat penting dalam retorika.
31