Page 354 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 354
Tapi aku tak bisa menjaga katakataku mengenai per
kara lain. Pada satu titik, aku percaya bahwa aku harus mem
bebaskan dia dari kelompok sirkus manusia cacat itu. Aku
tahu ia tertekan. Dan aku tak melihat apa gunanya, bahkan apa
tujuannya, mengikat dia di sana. Bagi Parang Jati, ataupun bagi
makhlukmakhluk malang yang lain. Aku tak melihat bahwa
dengan demikian ia bisa mengangkat kaum buruk rupa itu,
membebaskan mereka dari penderitaan. Aku sama sekali tak
mengerti.
Tapi ada sesuatu yang keras di matanya yang nyaris bida
dari. Yaitu obsesi. Atau keteguhan—jika aku tak mau bahasaku
digugatnya sebagai terlalu Freudian. Keteguhan terhadap ja
lan mistik. Ah, ia pasti enggan juga pada istilah itu: “jalan
mistik”. Sebab barangkali memang bukan jalan mistik yang ia
maksud. Dengan susah payah aku mencoba mengerti, bahwa
sesungguhnya ia berteguh untuk menjalankan “laku kritik”.
Laku kritik. Itulah nama yang ia rumuskan. Semua per
buatannya adalah untuk mengkritik pendekatan manusia yang
sangat menekankan guna dan hasil—dua kata yang berarti
kesuksesan. Ia tidak anti pada hasil dan guna. Ia tidak anti pada
kesuksesan. Ia hanya kritis. Kalian, pembaca yang cendekia,
barangkali biasa membedakan antara “anti” dan “kritis”. Tapi
kami, yang tidak menekuni terlalu banyak buku dan pemikiran,
kami tidak terbiasa dengan itu. Kami punya terjemahan untuk
“anti”. Yaitu tolak, tentang—menolak, menentang. Kami tak
punya terjemahan untuk “kritis”. Kau sadar?, tak mudah men
jelaskan pengertian ini pada masyarakat kami, bangsa yang
debil dan degil ini. Susah payah bagiku untuk memahami jalan
pikir dan laku Parang Jati.
Ia tidak anti pada pemanjatan kotor. Ia kritis padanya. Ma
nakala pemanjatan kotor telah menjadi satusatunya jalan yang
dipercaya, ketika itulah pendekatan ini menjadi berbahaya.
Sebab, di sebuah batas, para pemanjat tak lagi menaklukkan
3