Page 357 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 357
bersih yang dipesan Parang Jati akan tiba. Tidakkah itu cukup
untuk membuat kita gembira. Penelitian arkeogeologi kau
itu juga akan segera dimulai. Tidakkah itu mengasyikkan.
Di antara kesibukanmu itu, kita akan mulai agama baru ini.
Pemanjatan suci. Sacred climbing!
Ia tersenyum. Bukan sinis, melainkan kritis. Yaitu sebuah
senyum yang tidak lepas seperti milik kanakkanak—senyum
bocah yang naif dan ceria. Bukan. Bukan pula senyum nyinyir
orang tua—senyum mereka yang telah dimakan pahit dunia.
Sayangnya kita tidak punya terjemahan untuk “kritis”. Sebab
senyumnya adalah tahu, bahwa tujuan selalu mengandung
kekuasaan. Kelak, manakala kesucian pun sudah menjadi
rezim, kesucian akan melahirkan ketidakadilan baru.
“Karena itu, kataku,” (ia kembali memakai “aku”, bukan
“saya”), “tidak satu iota pun dari teknik pemanjatan artifisial
akan dihapuskan. Aku datang bukan untuk mengganti. Me
lainkan untuk menggenapi.”
Tapi, cepatcepat ia menambahkan, dengan nada berubah
ringan. “Saya datang untuk menggenapi, ya. Bukan meng
ulangi.” (ia telah memakai “saya”).
Aku melihat mata polosnyarisbidadarinya yang menjeng
kelkan dan menyenangkan itu telah kembali bersinar.
Dalam hati aku berjanji. Akan kuselamatkan dia dari sir
kus Saduki gila ini. Caranya? Jika kubuat ia sungguh terlibat
dalam proyek agama pemanjatan bersih ini, maka dia bisa me
miliki 12 murid baru. Duabelas pemuda yang tangguhtangguh,
untuk menggantikan duabelas yang cacat, buruk rupa, dan
bisu. Duabelas murid baru yang bisa menyebarkan ajarannya
ke manamana daripada duabelas yang tak akan ke manamana
kecuali berakrobat di tempat sambil menunggu ajal.
Dan ia akan menjadi sang ketigabelas. Bilangan hu.
3