Page 495 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 495
“Tak Amerika, tak Indonesia, di manamana kaum dogma
tis sama saja,” ujar seseorang.
“Kita bereskan, nanti,” timpal Parang Jati malas, seperti
sudah bosan dengan lagu mereka. “Kalau mereka mau melarang
teori evolusi kera ke manusia, ya kita balik saja teori itu. Evolusi
dari manusia menuju monyetmonyet.” Lalu ia kembali kepada
pekerjaannya.
Di sudut goa.
Disapunya liang itu dengan kuas kecil. Dahinya mengerut
sebab liang itu tidak berdaki. Seolah sebuah jalan tikus yang
masih aktif dilalui. Tapi siapa, atau apa, yang lewat di sana
selain kelelawar yang akan menerobos angin tak menyentuh
dinding. Atau seranggaserangga kecil. Ketika itulah ia sedikit
bergidik. Sebab ia teringat anjuran Mbok Manyar untuk men
cari lelaki yang bangkit dari kubur itu—Ki Jaka Kabur bin
Sasus—di goa ini. Goa Hu. Goa ketigabelas, yang di mataairnya
ia dulu ditemukan. Duapuluh enam tahun silam.
Ia mencium bau anyir sekarang. Kecil namun tajam. Ia
percaya bahwa itu adalah sejenis sugesti, yang muncul karena
ia membayangkan sesuatu. Ia abaikan itu.
Bersama temantemannya ia membuka jalan di antara
bebatuan. Ia tak mau membagikan rasa remang yang semakin
kuat itu kepada anggota tim. Rasa itu mencengkeram di
punggungnya, membuat kulitnya mengerisut keras. Ia bahkan
tak mau memandang kepada mata yang lain, khawatir jika
mereka membaca sesuatu pada matanya. Semua adalah sugesti
sebab ia membayangkan sesuatu. Hingga akhirnya, ketika jalan
itu akhirnya terbuka, salah seorang menjerit dengan polos
belaka:
“Aduh baunya! Kayak ada bangkai di dalam sana.”
Udara dingin lembab menerpa dari dalam lambung goa
yang kosong lama.