Page 498 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 498

Aku  dan  Marja  sudah  kembali  bersama  Parang  Jati  ke­
               tika  polisi  datang  memberi  kabar  itu.  Ada  rasa  mual  dalam
               lambungku. Barangkali juga dalam lambung Marja dan Parang
               Jati. Ialah rasa ingin memuntahkan kenyataan. Apatah bagi sa­
               habatku, yang melihat sendiri tulang­belulang itu, berserakan
               tanpa kehormatan, dikumpulkan polisi ke dalam karung plastik
               hitam,  lalu  mengetahui  bahwa  balung­balung  putih  tersebut
               pada mula hidupnya adalah orang yang ia kenal. Parang Jati
               memeluk  Marja.  Gadis  kami  menumpangkan  wajahnya  di
               lekuk leher sahabatku. Matanya bersembunyi dan hidungnya
               mencari aman pada takik tulang di bahunya yang bau lelaki.
               Rasa  sedih  berjalin­jalin  dengan  keintiman.  Seperti  ketika
               kami  mendengar  tentang  terbunuhnya  penghulu  bersahaja
               dulu, aku melihat kembali lubang luka itu pada diri Parang Jati.
               Lubang yang kini telah menampung Marja yang bergelung dan
               menggigil. Dan aku, si skeptis, sang peragu ini, selalu menjadi
               yang paling berjarak dan paling sedikit tersentuh.
                   Seandainya ketika itu aku telah membaca berita mengenai
               serangan  vampir  terhadap  ternak­ternak  desa,  tentulah  aku
               segera  membangun  teori  bahwa  kejadian­kejadian  ini  ber­
               kaitan.  Makhluk  yang  menghisap  darah  binatang­binatang
               itu, tidakkah ia sama dengan yang membongkar makam dan
               membawa  jenazah  ke  dalam  goa  untuk  dia  makan.  Tapi,
               sungguh, kisah apa yang sedang terjadi bukit­bukit ini. Kisah
               drakula,  dongeng  vampir  dan  Frankenstein,  ataukah  cerita
               gendruwo, Durga dari Setragandamayit.
                   Kami  terdiam  dalam  bayang­bayang  cerita  misteri  yang
               entah kapan menjadi sekadar teka­teki.
                   Ataukah—tiba­tiba terlintas di kepalaku bagai ditaburkan
               angin—aku bisa mendapat sedikit jawab. Dari Sebul. Bulsebul.
               Dia, yang datang dalam ambang mimpi dan tidur, dan memberi
               petunjuk mengenai bilangan mistik yang aku cari.
                   Tapi polisi itu memecah keheningan.
   493   494   495   496   497   498   499   500   501   502   503