Page 54 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 54
Pajajaran, Suralaya, Karawang. Tapi Babad juga menyebut
Watugunung.
“Watugunung, yang kalian namakan Batu Bernyanyi itu,”
Parang Jati memberi keterangan tambahan, yang selalu terasa
bagiku bagai sindiran. Di matanya yang bidadari aku seperti
melihat komentar, “Watugunung, yang kalian pasangi bor dan
paku.”
“Beginilah dalam Babad Tanah Jawi. Dikisahkan, Maja
pahit didirikan oleh Raden Susuruh, seorang pangeran Paja
jaran. Pangeran itu kalah perang akibat karma ayahnya di
masa lampau, yang mempermainkan dan membunuh seorang
pertapa. Dalam pelariannya, sang pangeran berjumpa dengan
seorang pertapa lain di gunung Kombang. Nama tempat itu
tak terlacak sekarang. Ia berlindung dan berguru pada pertapa
itu, yang pada awal cerita tidak dijelaskan apakah lelaki apakah
perempuan.
“Ini yang menarik dalam bahasa Jawa dan Indonesia.
Karena kedua bahasa ini tidak memiliki penanda jenis kelamin,
jelas sekali penulis Babad sengaja bermainmain dengan ambi
guitas itu. Ternyata sang pertapa, yang dibiarkan terduga
oleh pembaca sebagai lelaki, semula adalah seorang gadis
sangat jelita. Di masa mudanya ia adalah dara cantik rupa dari
kerajaan Pajajaran pula. Pasti permainan ambiguitas kelamin
ini bukannya tanpa maksud. Apa maksud itu, kitalah yang
harus menafsirkan. Pada sebuah perbincangan dengan Raden
Susuruh, si pertapa menjelma bentuk awalnya. Begitu jelita
ia sehingga sang pangeran bernafsu dan ingin mencumbu dia.
Tentu saja si gadis nan sakti menolak.”
Di bagian itu Parang Jati tertawa. “Bukan menolak karena
alasan menjaga kesucian, seperti dalam sinetron yang kamu
musuhi itu. Gadis sakti itu lumayan matang dan berwibawa,
kok, sehingga tak perlu menjaga kesucian. Dan pasti ia tak bisa