Page 56 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 56

“Semua orang yang mengerti spiritualitas Jawa tahu bah­
                 wa apa yang dikatakan sang pertapa, yaitu si perempuan jelita,
                 adalah apa yang dikatakan Nyai Ratu Kidul. Meski teks ini tak
                 menyebut Nyai Ratu Selatan secara eksplisit, orang Jawa tahu
                 bahwa sang pertapa dan penguasa laut Selatan itu adalah sosok
                 yang sama.”
                     Kami  melihat  kilap  laut  Selatan  di  kejauhan  pada  lepas
                 pantai Pangandaran. Lampu suar. Kapal­kapal di tepi samudra.
                 Gemuruh  ombak  bertumpang­tindih  dengan  deru  Landrover
                 tuaku.  Barangkali  untuk  pertama  kalinya  aku  mulai  melihat
                 aura  magis  laut  Selatan,  sembari  Parang  Jati  melanjutkan
                 penjelasan yang berselang­seling antara pembentukan geologis
                 wilayah itu dengan cerita­cerita babad yang tak membedakan
                 fakta dan fiksi.
                     “Aku tak pernah tahu bahwa Nyai Rara Kidul itu bisa lela­
                 ki dan bisa perempuan,” kataku seperti melamun. Selama ini
                 aku merasa kisah Ratu Pantai Selatan itu murahan. Terutama
                 ketika  dijelmakan  sebagai  film  horor.  Film  horor  pertama
                 yang  bisa  kuingat  rasanya  dimainkan  oleh  bintang  Suzanna
                 di  masa  jayanya,  ketika  aku  masih  memakai  popok.  Nyai
                 Blorong. Ah, dia adalah kuntilanak yang pertama! Dialah biang
                 kuntilanak!  Nenek  moyang  Sundel  Bolong  yang  sekarang!
                 Dan  dia  memerankan  Nyai  Rara  Kidul  atau  Nyai  Blorong
                 atau  sejenisnya  dalam  sebuah  pertunjukan  layar  perak  yang
                 membuat misteri jadi merosot. Tak heran aku ikut merendah­
                 kan Ratu Pantai Selatan.
                      “Kelihatannya ambiguitas kelamin punya tempat istimewa
                 dalam mistik Jawa,” kata Parang Jati. “Pernahkah kamu dengar
                 ini? Semar itu bukan jantan bukan betina. Kalau pria, mengapa
                 berbuahdada. Kalau wanita, mengapa berjambul…”
                     Aku  menggeleng  tanpa  mendengar  betul  apa  yang  ia
                 katakan.  Ia  mengutip  sesuatu  dari  bahasa  Jawa  yang  tak
                 bisa kuingat. Lagi pula aku tak senang jika suaranya menjadi
   51   52   53   54   55   56   57   58   59   60   61