Page 160 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 160
a yu Utami
tidak turun. Tapi keuntungan peternak rumahan jadi sangat
tipis. Jika sebelumnya lima puluh persen harga telur adalah
keuntungan; kini laba itu tak sampai sepuluh persen. ayah
kini hidup dengan uang pensiun dan kiriman dariku.
Telepon rumah kontrakanku berdering. “Rico?” suara yang
sangat kukenal di seberang sana. ayah. Tak setiap tahun baru ia
menelepon. Tapi ini tahun baru istimewa, yang dinantikan nya
sejak tiga puluh tahun lalu. Kubayangkan ia—rambutnya te lah
putih meski tetap tebal, mengenakan oblong yang lengan nya
dikurangi dan lehernya disayat untuk menampung dada nya
yang tetap bidang (soal menyayat kaos itu ia belajar dari aku)—
selalu dengan semangat—memacu kursi rodanya untuk me-
nuju telepon umum terdekat. Pada masa itu handpon masih
barang mewah. aku selalu mengirimi dia kartu telepon. aku
tak mungkin menghubunginya sebab rumah kami di Padang
masih belum kebagian saluran telepon. ayah mengayuh roda
dengan tangannya yang senantiasa terlatih dan terpelihara,
sementara kakinya yang sejak lahir kurus itu kini semakin
kecil, tak bergerak lagi, seperti sepasang ceker-ayam mati.
aku bilang padanya bahwa tiga puluh tahun lalu, ketika
1969 berganti 1970, ia minta dibangunkan pada malam ini
(seolah aku akan selalu berada di sampingnya sampai tua—
ini membikin aku merasa sendu sekaligus bersalah). Tapi kini
pun ia sudah ingat sendiri. Sedangkan aku, untuk merayakan
peralihan milenium, aku telah memutuskan untuk berhenti
merokok mulai 1 Januari 2000. Ini adalah malam rokok ter-
akhirku. Sebetulnya, beberapa tahun belakangan ini aku me-
nunggu ada pacar yang membuatku berhenti merokok. Tapi,
yang terjadi, mereka malah jadi ikut merokok. Karena tak ada
154
Enrico_koreksi2.indd 154 1/24/12 3:03:55 PM