Page 164 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 164
a yu Utami
tidak selamanya melesat. Ia akan mendarat juga di suatu
ruang.
Dua puluh tahun silam aku pernah menjanjikan kisah
sukses tentang putra daerah yang merantau untuk belajar
di perguruan terbaik negeri ini. Kini diriku bukan cerita
sukses-sukses amat. aku tidak menjadi insinyur, melainkan
fotografer. aku tidak menjadi bos, melainkan freelancer. aku
tidak memiliki istri dan anak, dan—sekalipun aku tak pernah
kekurangan cewek—aku masuk dalam kategori bujang lapuk
bagi orang-orang di kampung. Tapi itulah kehidupan yang
aku pilih. Semuanya bermuara pada satu hal: aku mau jadi
manusia bebas. aku tidak ingin punya bos, dan tidak ingin
menjadi bos. Sebab, menjadi bos ataupun anak buah, dua-
duanya berada dalam relasi yang tidak saling membebaskan.
aku tidak ingin memiliki istri, sebab istri akan segera men-
jadi ibu kita. aku tidak ingin punya anak, sebab aku akan
bersedia menggadaikan kemerdekaanku demi anak, seperti
yang dilakukan ayah. Dan aku khawatir aku akan bersikap
menuntut pada anakku, seperti yang dilakukan Ibu. aku tak
mau menggadaikan kebebasanku demi apapun. apalagi untuk
status-status sosial semacam perkawinan dan tanda-tanda
kemapanan lain.
ayah sendiri juga bukan cerita yang berakhir sukses. Ke-
tika menjadi taruna pastilah ia menjanjikan khayalan tentang
karir gemilang. Sang Yudistira dalam keluarga. Ia lulusan per-
tama Sekolah Calon Perwira di negeri ini. Tapi keterlibatan nya
dengan PRRI mendaratkan busur panah ini ke tepi jurang. Toh
ia bahagia dalam kesederhanaannya dan cintanya pada Ibu.
Bagaimana ayah membayangkan bahwa gennya akan
ber akhir sampai di sini? aku, putra tunggalnya, tidak berniat
158
Enrico_koreksi2.indd 158 1/24/12 3:03:55 PM