Page 167 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 167
Ce r i t a Ci n t a E n r i c o
menyia-nyiakan kesempatan untuk menyiar, dimakamkan di
kuburan Islam.
Ketika aku memandangi pusaranya dengan miris sebab
teringat kata-kata Ibu—tentang keliaranku yang mem per-
pendek hidupnya, ayahku masih sempat bercanda, “lihatlah,
ibumu akan menyiar di tempatnya yang baru ini.”
Tapi yang mengkhawatirkan datang begitu pemakam an
selesai. ayahku mengunjungi ibuku dua kali sehari. Setiap pagi
dan sore, ia pergi dari rumah dengan motor bebek Suzuki-nya,
membeli seikat kembang yang dipilihnya dengan cermat di
pasar, untuk kemudian bercakap-cakap dengan nisan Ibu.
Hari pertama itu, pagi-pagi, setelah sarapan, kulihat ia
berganti pakaian. “Ke mana, Pay?” aku bertanya. “Menengok
ibu mu,” jawabnya. Sore-sore, menjelang waktunya wedangan,
ia memakai lagi baju rapinya. “Ke mana, Pay?” “Menemui
ibumu.”
Esok harinya, begitu lagi. Hari berikutnya, juga begitu. Se-
tiap kali setelah sarapan, ia tampak ceria seperti seseorang
yang hendak mengapel pacar. Berangkatlah ia dengan sebuket
bunga. Setelah hampir satu jam menghilang, ia pulang kem-
bali. Wajahnya tidak secerah sebelumnya. Sebaliknya, ia
tampak agak sendu selama dua jam pertama. Memasuki dua
jam kedua, ia tampak menjadi realistis. Dalam dua jam ketiga,
ia tampak kehilangan dan menyedihkan. Setelah enam jam
itu lewat, ia tampak ceria lagi, seolah mendapat harapan baru
bahwa ini waktunya ia menengok pacarnya lagi. Demikianlah
siklus emosinya dari hari ke hari.
aku menemaninya di rumah sampai lebih dari empat
puluh hari, dan ia terus membesuk Ibu dua kali sehari tanpa
libur. Ketika aku harus kembali ke Jawa, aku nasihati ayah
161
Enrico_koreksi2.indd 161 1/24/12 3:03:56 PM