Page 161 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 161
Ce r i t a Ci n t a E n r i c o
pacar yang bisa, maka biarlah milenium yang menghen tikan
aku. ayah tidak pernah merokok sejak aku mengenalnya. atau,
ia telah berhenti sejak bertemu dengan Ibu. aku tumbuh da lam
rumah yang bebas asap rokok. Tapi aku merokok begitu lepas
dari ibuku, dan sebagai bagian dari perlawananku padanya.
ayah bertanya bagaimana aku akan merayakan pergan-
tian tahun di malam ini selain menghisap rokok terakhirku.
Ku bilang, biasalah, sebagai fotografer aku akan memotret
orang-orang yang berpesta-pora merayakan peralihan mile-
nium. Bukan, bukan untuk koran apa pun. Bukan untuk pe-
sanan, tetapi dalam proyek pribadiku sendiri. aku sedang
ter tarik merekam kelas menengah—kelas yang menjadi
asal-usul kebanyakan fotografer dan, justru sebab itu, sedi-
kit men jadi obyek foto para jurnalis. aku sedang mau mem-
bebas kan diriku dari kecenderungan voyeurisme para foto-
jurnalis; kecenderungan mengintip kelas yang berbeda. aku
ingin menghadapi kelasku sendiri. Di usia empatpuluhan ini,
tampaknya aku ingin mengetahui diriku sendiri.
aku tahu ayah tidak terlalu bisa mengikuti pikiran-pi-
kiranku lagi. Tentunya kadang ia heran juga: kenapa aku ha-
rus sekolah di ITB kalau akhirnya menjadi jurufoto. Duniaku
telah menjadi begitu berbeda dari yang ia kenal. aku pernah
bekerja sebagai insinyur di perminyakan, tapi dalam se ta hun
aku merasa menjadi ayam broiler kembali. lebih parah lagi,
seluruh benih, makanan, dan obat bagi ayam-ayam itu telah
dikuasai Jenderal Soeharto dan kroninya.
Seni adalah dunia kebebasan itu. Fotografi kuanggap se
bagai bagiannya, di mana kau sekaligus tetap bisa jadi pro-
fe sio nal. Sebetulnya aku mencintai seni sejak kecil. ayahku,
yang sadar pada ketertarikanku, mengirimku kursus melu kis
155
Enrico_koreksi2.indd 155 1/24/12 3:03:55 PM