Page 34 - Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
P. 34
a yu Utami
Sumatra Tengah itu, telah roboh. Tanda pangkat bintang putih
tanggal dari seragam ayahku. Dari tepi lapangan, ibuku berdiri
tegak memandang peristiwa itu, didampingi Rah serta kedua
anaknya. Untuk menunjukkan harga dirinya dan suaminya,
ia tampil sangat necis, mengenakan rok bunga-bunga yang
dilicinkannya sebisa mungkin, dan pantovelnya yang gagah
berani. Pantovel yang tak tertandingi. Ia telah menunjukkan
bahwa ia selalu mendampingi lelaki yang dicintainya apapun
yang terjadi. Ia telah menunjukkan bahwa ia tidak menangis,
sebab begitulah yang ia sendiri tafsirkan dari kelahiranku, di
hari kelahiran revolusi juga—meskipun hampir bisa dipas-
tikan aku tidak memaksudkannya sama sekali. aku tidak me-
nangis waktu lahir, mungkin memang ada kesalahan pro gram
pada tubuhku. atau, tepatnya, cacat teknis. Tapi bagi ibuku,
tidak ada sesuatu yang tidak bermakna. Menurut ibu ku, aku
tidak menangis sampai sedetik sebelum maut men cekikku,
itu artinya: aku menangis karena perlu—semata-mata karena
perlu—bukan karena perasaan takut atau sedih atau marah
atau trauma. Karena bayi perlu menangis, maka aku me-
nangis. Begitulah yang benar. Sesuatu itu karena perlu. Bukan
karena perasaan-perasaan cengeng. Ya, menurut ibuku, aku
telah menunjukkan bahwa aku menangis karena perlu ber-
nafas. Demikianlah, ia pasti percaya bahwa aku menelan se-
pe rempat putingnya karena aku perlu makan, bukan karena
ma rah atau karena aku suka rasanya. Tapi, kelak, peristiwa
ayam mengamuk yang membuat aku meraung-raung mau
mati menunjukkan bahwa aku ternyata tidak sebegitu heroik.
Sayang nya, ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri
kejadian itu.
lapangan di antara dua hutan...
28
Enrico_koreksi2.indd 28 1/24/12 3:03:52 PM