Page 116 - BUMI TERE LIYE
P. 116

TereLiye “Bumi” 113



                         Sosok  tinggi  kurus itu tertawa,  membuat  suara  tawanya  meng-am ban g
                  di  langit­langit  kamarku.  ”Kamu  tidak  akan  pernah  bisa  mengusir  sesuatu
                  yang  sejatinya  sudah  terusir  dari  dunia  kalian,  Nak.  Tetapi  baiklah,  jika  itu
                  akan  membuatmu  lebih  bersahabat  setelah  awal  yang  sulit  ini.”

                         Sosok    itu  menunduk,        berbisik    pada    kucingnya,     ”Kamu     mau
                  mengucapkan  selamat  tinggal?”


                         Si  Hitam  menggeram.  Kepalanya  terangkat.  Matanya  menatap-ku
                  tajam.

                         Aku  memutuskan  melihat  pinggir  cermin,  benci  bertatapan  dengan

                  kucing  itu.  Saat  aku kembali  menatap  cermin,  sosok   ting-gi   kurus   itu  telah
                  hilang  bersama  kucingnya.


                         Kamarku  lengang  beberapa  detik,  menyisakan  suara  hujan  deras.
                  Cermin  besar  milikku  kembali  seperti  cermin   kebanyakan,   tidak  menger ut ,
                  tidak  gelap,  dan  tidak  berembun.

                         Aku  menghela  napas  panjang  setelah  memastikan  sosok   tinggi   kurus
                  itu  benar-benar  telah  pergi,  lantas  mendongak,  menyeka    pelipis    yang
                  berkeringat,  mengempaskan  badan  di  atas  kasur.  Astaga,  bertahun-  tahun

                  merahasiakan  diriku  bisa  meng-hilang,  aku  tidak  akan  pernah  mengir a
                  malam  ini  akan  menjadi  ru-mit  sekali.

                         Siapa  sebenarnya  sosok  aneh  di cerminku?  Kenapa  dia me-ngirim-kan
                  kucing  untuk  memata-mataiku?  Kenapa  dia  melatih-ku?  Apakah  dia  jahat?
                  Apakah  dia  berniat  baik?  Apakah  dia  te-man  seperti  yang  dia  bilang?  Atau
                  sedang  menipuku?  Aku  sama  sekali  tidak  punya  jawaban  atas  pertanyaan
                  yang  memenuhi  kepalaku  saat  ini.


                         Aku menatap  jam  dinding,  sudah  lewat  pukul  sepuluh  malam.   Di  luar
                  sana  belum  terdengar  tanda-tanda  mobil  Papa  memasuki  halaman.  Mungk in
                  masalah  di  pabrik  bertambah  rumit.

                         Aku  mengembuskan  napas  kesekian  kalinya,  merapikan  ram-but
                  panjangku.  Si  Putih  akhirnya  bergerak  pelan.  Dia  keluar  dari  dekapanku,
                  merangkak  ke  atas  kasur.  Kepalanya  menyundul  pahaku,  bergelung,
                  menatapku  dengan  tatapan  yang  kusuka  darinya  selama  ini.








                                                                            http://cariinformasi.com
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121