Page 118 - BUMI TERE LIYE
P. 118

TereLiye “Bumi” 115










                              KU  lagi-lagi  tidak  bisa  tidur.  Setelah  mematikan  lampu,  menarik
                  selimut,  aku  berkali-kali  berusaha  memejamkan  mata.  Tapi  percuma,  aku

                  hanya  bisa  melamun  menatap  remang  langit-langit  kamar.

                         Sesekali  cahaya  petir  yang  melintasi  kisi-kisi  jendela  membuat   ter ang
                  kamarku.  Hujan  di  luar  masih  deras.  Aku  beranjak   duduk,   memeluk  lutut,
                  menatap  si Putih  yang  sudah  meringkuk  tidur  di  sampingku.


                         Aku  menatap  cermin  kamarku.  Besok  lusa  sepertinya  aku  bisa
                  menutup  cermin  ini  dengan  kain  atau  koran  biar  tidak  meng-ganggu.  Aku
                  mengembuskan  napas.  Itu jelas  bukan  ide  yang  baik.  Sosok  tinggi  kurus    itu
                  tidak  bisa  diusir  bahkan  dengan  me-mecahkan  cerminnya.  Mama  akan
                  bingung  melihat  cerminku  dibungkus  sesuatu.

                         Papa  belum  kunjung  pulang  hingga  tengah  malam,  pukul  sebelas
                  lewat.  Mama  mungkin  sudah  tertidur  pulas  di sofa,  menunggu,  seperti   yang
                  Mama  lakukan  selama  enam  belas  tahun  sejak  mereka  me-nikah.


                         Aku     menguap       kesekian     kalinya,    kembali     menarik      selimut ,
                  me-lemaskan  badan,  menutup  mata.  Di  benakku  malah  muncul  de-ngan
                  jelas  kejadian  saat  si  Putih  diterkam  si  Hitam.  Aku  me-ngeluh,  membuk a
                  mata.  Apa  susahnya  memaksa  benakku  ber-henti  memikirkan  hal  itu.  Apa
                  susahnya  menyuruh  pikiranku  ber-henti  memikirkan  hal-hal  yang  tidak
                  ingin  kupikirkan.  Tidak  sekarang,  aku  ingin  tidur.

                         Satu  jam  lagi  berlalu,  aku  menyerah.  Bahkan  orang  dewasa  paling

                  mampu  mengurus  masalah  pun  tidak  bisa  mengontrol  pikiran-pikiran  di
                  kepalanya.  Aku  duduk  kembali  di atas  kasur,  me-natap   novel   di  atas   kursi,
                  berpikir.    Apakah      aku     bisa    meng-hilangkannya?          Ragu-ragu      aku
                  mengacungkan  jemari.

                         Hei,  novel  itu  bahkan  sudah  hilang  sebelum  aku  selesai   kon-sentr asi.
                  Aku  menelan  ludah.  Hilang  begitu  saja?  Mudah  sekali?  Bukankah  beberapa
                  hari  terakhir  aku  sudah  bersusah  payah,  tetapi  tidak








                                                                            http://cariinformasi.com
   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123