Page 155 - BUMI TERE LIYE
P. 155

TereLiye “Bumi” 152



                         Tamus  telah  menghilang  dari  seberang  din-ding.  Aku tahu  dia  menuju
                  ke mana.  Saat  suara  seperti  gelem-bung  air meletus  ter-dengar  kembali,  dia
                  melompat  di  atasku  dan  Miss  Selena  dengan  ganas,  menghantamkan
                  pukulan  ke arah  kami.

                         Miss  Selena  memelukku.  Kami  menghilang.

                         Lantai  aula  hancur  lebur  hingga  radius  dua  meter.  Lubang  besar
                  me-nganga.

                         Aku dan Miss  Selena  muncul  di dekat Seli  dan Ali.  Miss  Selena  melepas
                  pelukan,  bangkit  berdiri,  mengacungkan  jemari-nya  ke  dinding,  berseru

                  dalam  bahasa  yang  tidak  kukenali.  Lubang  dengan  pinggiran  seperti  awan
                  hitam  mendadak  muncul,  membesar  dengan  cepat,  pinggirannya  berputar

                  laksana  gasing.

                         ”Cepat,  Ra!  Masuk!”  Miss  Selena  berseru.

                         ”Aku  tidak  mau  pergi!”  aku  berseru  panik.  Aku  tidak  akan  per­nah
                  meninggalkan  Miss  Selena  sendirian  menghadapi  sosok  tinggi  kurus
                  menyebalkan  itu.


                         ”Ali!  Bawa  teman­temanmu  masuk  ke  lubang  hitam.  Seret  jika  Raib
                  menolak!”  Miss  Selena  menoleh  ke  arah  Ali.  ”Kamu  mungkin  saja  hanya
                  Makhluk  Tanah,  tidak  memiliki  kekuat-an,  tapi  kamu  memiliki  sesuatu  yang
                  tidak  terlihat.  Minta  Ra  me-nunjuk-kan  buku  PR  matematikanya.”



                         Miss  Selena  sudah  menghilang.  Aku  tahu  dia  menuju  ke  mana.  Miss
                  Selena  sudah  berdiri  gagah  berani  menghadang  Tamus  yang  bersiap
                  meloncat  menyerbu  kami.


                         Pertarungan  jarak  dekat kembali  terjadi.  Tamus  mengamuk,  meraung.
                  Pukulannya  bukan  hanya  menderu  bagai   angin   puyuh,   tapi   juga  mendesis
                  dingin.  Aku  yang  berdiri  belasan  meter  dari  tengah    aula   bisa  merasakan
                  dingin  menusuk  tulang  setiap  tangannya  bergerak  dan  berdentum  mengen ai
                  sasaran.    Percikan     bunga     salju   memenuhi       aula   sekolah,    melayang
                  berguguran.  Miss  Selena  segera  terdesak,  menjadi  bulan-bulanan  pukulan.








                                                                            http://cariinformasi.com
   150   151   152   153   154   155   156   157   158   159   160