Page 158 - BUMI TERE LIYE
P. 158
TereLiye “Bumi” 155
ELAP sesaat, tidak terlihat apa pun. Aku, Seli, dan Ali beradu
punggung, berjaga-jaga, menatap kegelapan. Kemudian muncul setitik
cahaya, kecil, segera membesar setinggi kami. Lubang berpinggiran hitam,
berputar seperti awan, terbentuk di depan. Kami bisa melihat keluar, bukan
aula sekolah. Terang, tidak remang, juga hangat, tidak dingin menusuk
tulang.
Ali lebih dulu melangkah. Si genius itu sepertinya tidak perlu berpik ir
dua kali atau memeriksa terlebih dahulu ke mana lubang ini membuka. Dia
keluar sambil mencengkeram pemukul bola kastinya yang tinggal separuh.
Seli menyusul kemudian. Ali meng-ulurkan tangan, membantu.
”Kita ada di mana?” Seli bertanya.
”Kita berada di kamar Ra.” Ali yang menjelaskan.
Ali benar. Aku mengenali ruangan ini, kamarku.
Lubang di atas lantai mengecil saat kami bertiga sudah lewat, lantas
lenyap tanpa bekas.
Kalau saja situasinya lebih baik, mungkin aku akan merebut pemukul
bola kasti Ali, memukul si biang kerok itu. Jelas sekali dia tahu ini kamarku
dari alat yang dia pasang. Tapi ada banyak hal yang lebih penting untuk
diurus sekarang.
”Apakah Miss Selena akan baikbaik saja?” Seli bertanya cemas.
”Aku tidak tahu,” jawabku.
”Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Seli bertanya lagi.
”Buku PR matematikamu di mana, Ra?” Ali berseru.
Aku bergegas melompat ke meja belajar yang tidak ada bangku- ny a
sudah kuhilangkan semalam. Aku bisa leluasa berdiri mencari di antara
http://cariinformasi.com