Page 171 - BUMI TERE LIYE
P. 171

TereLiye “Bumi” 168



                         ”Sungguh?”  Ali  menatapku  tidak  percaya.

                         ”Silakan  diminum.”  Ayah  si kecil  mengangguk  ramah  kepada  kami.

                         Aku  menatap  gelas  aneh  yang  lebih  mirip  sepatu  kets.  Baik-lah,  aku
                  meraih  gelas  terdekat,  mengangkatnya.  Isinya  air  bening  biasa,  setidak ny a
                  terlihat  begitu.  Aku  menenggaknya.

                         Ternyata  rasanya  segar  sekali.

                         Seli  menatapku  ragu-ragu.  Aku  mengangguk  kepadanya.  Tidak  ada
                  yang  perlu  dicemaskan.  Itu hanya  air bening  biasa,  bahkan  setelah  berbagai
                  kejadian  tadi,  menghabiskan  air  se-banyak  satu  gelas  berbentuk  sepatu
                  terasa  melegakan.

                         ”Namaku  Ilo,  siapa  nama  kalian?”  ayah  si  kecil  bertanya,  sam­bil
                  menyerahkan  handuk  basah.


                         Aku  menjawab  sopan,  menyebut  namaku,  Seli,  dan  Ali.

                         Lelaki  itu  menggeleng.  ”Nama  kalian  terdengar  aneh.  Kalian  berasal
                  dari  mana?”

                         Aku menelan  ludah,  ragu-ragu  menyebutkan  nama  kota kami.  Seli  dan
                  Ali  di  sebelahku  sudah  menghabiskan  minum  mereka.  Kini  me-reka  sedang
                  membersihkan  wajah  dan  sekujur  badan  dengan  handuk.

                         Ilo,  demikian  nama  ayah  si  kecil  itu,  lagi-lagi  menggeleng.  Wajahny a

                  termangu.  ”Belum  pernah  kudengar  nama  kota  seperti  itu.  Kalian  sepertiny a
                  tersesat  dari  jauh.”

                         ”Kami  sekarang  berada  di  mana?”  aku  balik  bertanya,  teringat
                  pertanyaan  Seli  dan  Ali  sejak  tadi.  Kenapa  tidak  kutanyakan  saja  kepada
                  orang  berpakaian  gelap  ini.


                         ”Kota Tishri.”

                         ”Kota  Tishri?”  aku  mengulanginya.

                         ”Benar  sekali,  Kota  Tishri.  Kota  paling  besar,  paling  indah.  Tempat
                  seluruh  negeri  ingin  pergi  melihatnya.  Nah,  apa  kubilang  tadi,  setidaknya






                                                                            http://cariinformasi.com
   166   167   168   169   170   171   172   173   174   175   176