Page 175 - BUMI TERE LIYE
P. 175
TereLiye “Bumi” 172
Aku tidak terlalu mendengarkan. Kepalaku dipenuhi begitu banyak
pertanyaan. Seli masih menatap dengan cemas ke seluruh arah. Dia sempat
berbisik, ”Kita tidak berada di kota kita lagi ya, Ra?”
Aku mengangguk. ”Kita berada di tempat yang jauh sekali.”
”Bagaimana kita pulang?” Seli bertanya.
Aku menggeleng. ”Entahlah.”
Wajah Seli sedikit pucat.
Hanya Ali yang terlihat tenang, menatap sekitar dengan se-mangat.
”Besok malam adalah malam karnaval festival tahunan. Jika kalian
menunggu sehari saja, kalian bisa menyaksikan festival ter-besar. Seluruh
kota dipenuhi pelangi malam hari. Semua bangun-an tersambung oleh kabel
yang dipenuhi lampu warna-warni. Putraku yang berusia empat tahun tidak
sabar menantikannya.” Ilo membentangkan tangan, masih asyik
menjelas-kan.
Angin berembus lembut, menerpa wajah, memainkan anak rambut .
Aku mendongak menatap langit. Kami ada di mana? Gunung, pantai, sungai,
juga posisi bulan dan bintang sama persis seperti di kota kami. Tapi sisanya
berbeda. Bangunan rumah seperti balon?
Hampir setengah jam kami berada di atap bangunan. Hingga Ilo diam
sejenak, berkata, ”Sudah larut malam. Kita sebaiknya turun. Kalau kalian
mau, malam ini kalian bisa menginap di tem-patku. Ada kamar kosong.
Tidak terlalu lapang untuk ber-tiga, tapi cukup nyaman. Besok pagi-pagi aku
akan membantu mengirim kalian pulang ke rumah.”
Kami bertiga tidak berkomentar. Aku mengangguk.
Ilo membungkuk. Dia membuka daun pintu di atap. Lantai ruangan di
bawah terlihat mendekat. Dia menyuruh kami me-langkah masuk. Kami
bisa melangkah dengan mudah. Ilo me-lepas pegangan ke daun pintu. Daun
pintu itu perlahan kembali ke atas. Langit-langit ruangan kembali tinggi. Ilo
menutup pin-tu.
http://cariinformasi.com