Page 197 - BUMI TERE LIYE
P. 197

TereLiye “Bumi” 194



                         Anak-anak  remaja  seumuran  kami  itu  menyapa  Ilo—tentu  saja   bukan
                  menyapa  Ali.  Satu-dua  berseru-seru  senang.  Mereka  mengulurkan  buku
                  bersampul  kulit  masing-masing.

                         Aku  segera  tahu  apa  yang  sedang  terjadi.  Di  layar  televisi  terlihat
                  tayangan,  mungkin  itu  sebuah  iklan.  Wajah  Ilo tampak  close   up   memenuh i
                  layar,  tersenyum  memamerkan  koleksi  pakai-an  terbaru.


                         ”Ilo  desainer  pakaian  paling  terkemuka.  Dia  melakukan  revo­lusi
                  besar-besaran  dengan  teknologi  yang  ditemukannya.  Dia  selebritas,  tidak
                  kalah  terkenalnya  dibanding  pesohor  lain  di  kota  ini.  Tapi  begitulah,  di
                  rumah  dia  tetap  ayah  yang  kadang  mem­bosankan  bagi  Ou.”  Vey  tertawa
                  lagi.  ”Bahkan  kalian  ber­tiga  tidak  kenal  Ilo,  bukan?  Sepertinya   dari   tempat
                  kalian  datang,  Ilo  tidak  dikenal  siapa  pun.  Padahal  Ilo  selalu  me-nyombon g
                  dirinya  terkenal  di  mana­mana.”

                         Aku ikut  tertawa—lebih  karena  aduh,   lihatlah,   anak-anak   remaja   itu

                  masih  berseru-seru  saat  buku  mereka  ditandatangani,  saling  menunjuk kan
                  buku,  wajah  seolah  histeris,  lantas  kembali  ke  bangku  masing-masing.
                  Mereka  persis  teman  remajaku  di  sekolah  setiap  melihat  artis  idola  atau
                  penyanyi  boyband  dari  Korea.

                         ”Apa  yang  terjadi?”  Seli  bertanya,  di sebelahku.

                         ”Gwi  yeo wun,”  aku,  menjawab  sekenanya,  teringat  beberapa  hari  lalu
                  di  dunia  kami,  Seli  mengatakan  kalimat  itu  saat  Ali  tiba-tiba  datang  ingin
                  mengerjakan  PR mengarang  ber-sama.

                         Ali  tidak  mendengar  kalimatku.  Dia  masih  sibuk  memperhati-k an,
                  terpesona  menatap  buku-buku  yang  dibawa  penumpang   ber-seragam.   Tadi
                  saat  menandatangani  buku  penggemarnya,  Ilo hanya  mengguratnya  dengan
                  ujung  jari.  Tulisannya  muncul  sen-diri  di atas kertas.  Itu  jelas   lebih  menarik
                  bagi  si genius  ini.


                         Kapsul  yang  kami  naiki  terus melesat  cepat  dalam  jalur  ke-reta.  Di  luar
                  tidak  terlihat  apa-apa,  tapi  sepertinya  kami  masuk  semakin  dalam.

                         ”Kamu      tahu,   Ra,    aku    lebih   suka    menggunakan        kapsul    ini
                  di­bandingkan  lorong  berpindah.”  Ilo yang  selesai  melayani   peng-gemar ny a
                  kembali  mengajakku  bercakap-cakap.  ”Lebih






                                                                            http://cariinformasi.com
   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202