Page 115 - PDF Compressor
P. 115
”What game?” Dinda makin bingung.
”Kayak main tenis aja, Din. Rally panjang Wimbledon.
Bedanya yang kami lempar bolak-balik bukan bola, tapi
flirting. Udah, gitu doang. No strings attached. No rules. Seru,
lagi. No feelings involved. Purely a game.”
”No feelings involved?” Dinda mengulangi kata-kataku, mene-
kankan setiap suku katanya untuk mendramatisasi.
Aku mengangkat bahu.
”Dan no rules? No rules, Key? Permainan apa yang ujung-
ujungnya nggak nyakitin kalau tanpa aturan begini?”
”Udah deh, lo itu serius banget sih, ini nggak ada apa-apa-
nya, lagi.”
Dinda menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas.
”I hope you know what you’re doing.”
Aku kembali mengangkat bahu, melemparkan senyum ke 113
Dinda. Malas menjelaskan panjang-lebar lagi. Sejujurnya, do
I know what I’m doing here? No. Tapi siapa yang peduli? Aku
tidak menyakiti siapa-siapa, kan? Panji menikmati ini. Aku
menikmati ini. Aku menikmati detik-detik tadi malam ketika
dia akan meninggalkan apartemenku, aku menyentuh lengan-
nya dan menatap matanya dalam-dalam, dan akhirnya mem-
biarkannya menyambar bibirku. Segampang memencet tombol
continue di PlayStation saat ingin lanjut ke stage berikutnya.
Panji tidak perlu tahu bahwa paginya, di hari yang sama, aku
bertemu Ruly saat sedang mengantre kopi di Starbucks di
lobi kantor. Pertama kalinya setelah sekian minggu. Aneh
bahwa bahkan setelah sekian minggu itu, Ruly masih mem-
buat jantungku berdetak lebih cepat. Dan aku dan dia berbagi
cerita, tertawa. I was hot. Okay, let’s be honest here, people, I
AM hot. Dan si Ruly itu langsung melambai pergi begitu ada
masalah kantor yang menghampirinya lewat telepon. Berlalu
Isi-antologi.indd 113 7/29/2011 2:15:19 PM