Page 220 - PDF Compressor
P. 220
sinting maupun normal yang kulakukan bareng Dinda sejak
mendarat di Manila cukup menghibur dan menghilangkan
bayang-bayang—and I’m quoting Dinda here—para pria-pria
nggak penting itu dari kepalaku. Mulai dari tertawa-tawa de-
ngan sistem halte penjemputan penumpang di Bandara Ninoy
Aquino. Siapa yang sangka tempat orang-orang menunggu
jemputan di NAIA ini berupa beberapa pick up points yang
di atasnya ada papan dengan urutan alfabet berbeda, yang
artinya adalah: menunggulah di bawah papan bertuliskan hu-
ruf pertama nama belakang Anda. Karena Dinda sekarang
bernama belakang Wardhana, maka kami dengan manisnya
berdiri di bawah papan berhuruf W, menunggu teman Panca
menjemput kami.
”Nama belakang Ruly apa?” katanya.
”Pertanyaan apa lagi sih ini?” cetusku sebal.
218
Dinda tertawa. ”Sensi banget sekarang kalau ditanya-tanya,
ya. Jawab aja, kali.”
”Walantaga,” cetusku malas.
”Wah, kalau lo kawin ama Ruly kita nunggu jemputannya
di papan yang sama dong ya, darl,” Dinda nyengir lebar.
Aku kembali menggeleng-gelengkan kepala. ”Nggak puas-
puas lo, ya.”
”Eh gue baru sadar, kalau lo kawin sama Panji, kita juga
nunggu jemputannya di papan yang sama. Ih, kita besties ba-
nget nggak sih.”
”Gue maunya di situ aja,” cetusku menunjuk papan bertulis
huruf M.
”Manulang? Marpaung? Punya gebetan orang Batak lo
sekarang, Nyet?” Dinda menatapku kaget.
Aku langsung tergelak. ”Mayer, tolol, Mayeeer.”
Dinda tertawa terbahak-bahak.
Isi-antologi.indd 218 7/29/2011 2:15:26 PM