Page 32 - PDF Compressor
P. 32
Dinda tetap tidak bisa menahan tawanya.
Aku tersenyum lebar dan melambai ke arah sesosok laki-
laki yang muncul dari Aksara, sambil tetap mendesis ke arah
Dinda, ”Ingat, ya. Awas lo kalau macem-macem.”
Dinda, sahabatku yang setan itu, berusaha setengah mati
menghentikan tawanya, dan kini malah terlihat tersenyum-se-
nyum simpul.
”Hai,” sapa Ruly menghampiri meja kami.
”Hei. Nemu dasinya?”
Ruly menggeleng. ”Bingung gue.”
”Duduk dulu deh,” kataku. ”Eh, kenalkan, Rul, ini temen
gue Dinda.”
Dinda, tentu saja, dengan gaya dramatis dan senyum lebar
mengulurkan tangan untuk bersalaman. ”Dinda. Ruly, ya?”
Ruly mengangguk, tersenyum sopan.
30
”Udah makan?” aku menatap Ruly. ”Pesan dulu aja kalau
belum.”
”Iya, kita tungguin deh,” Dinda tersenyum simpul sambil
melirikku. Minta ditendang di bawah meja.
”Eh, boleh deh,” Ruly duduk di sofa di sebelahku. ”Kalian
udah pada makan?”
”Oh, udah, udah minum juga,” sahabatku si setan dodol
tersenyum-senyum jahil.
Namun malam itu, cuma sepuluh menit sejak kami berpi-
sah di lift, dan aku masih mengikuti langkah-langkah Ruly
menuju mobilnya, aku sendiri yang tersenyum-senyum mem-
baca BBM dari Dinda.
Dinda-the-MILF: ”God, darl, if I were you, I would have
fucked him already.”
Aku hanya bisa membalas: ”I’m done fucking men, darl. I
want to marry this one.”
Isi-antologi.indd 30 7/29/2011 2:15:14 PM