Page 14 - suara yang dibungkam
P. 14
Pak Tedy: (tetap tenang, dengan nada bijak)
"Revan, kontribusi keluargamu tidak memberikan hak untuk memperlakukan orang lain dengan
cara seperti ini. Sekolah ini tidak bisa dibeli dengan uang, dan kami tidak akan menoleransi
kekerasan dalam bentuk apa pun."
Siska mencoba menyembunyikan kepanikannya, tapi jelas mulai merasa bahwa situasinya tidak
menguntungkannya.
Siska: (berbisik ke Revan)
"Kita bisa bicarakan ini, Revan. Pasti ada cara keluar dari masalah ini."
Amira: (akhirnya berbicara, dengan suara pelan dan penuh penyesalan)
"Sudah terlambat, Siska. Kalian tertangkap kamera. Ini bukan soal pembicaraan lagi."
Titus: (menatap Revan dan Siska dengan tegas, suaranya lebih kuat dari biasanya)
"Ini yang kalian sebut kekuatan? Mengancam orang yang lebih lemah dan berpikir bahwa kalian
bisa lolos hanya karena kalian punya uang? Akhirnya, kebenaran keluar juga, tanpa aku harus
mengatakan apa-apa."
Revan dan Siska tidak bisa berkata apa-apa. Mereka terdiam, menyadari bahwa mereka tidak
bisa lagi lolos dari perbuatannya. Albi hanya menunduk, merasa malu dan bersalah karena
terus ikut dalam perundungan itu tanpa pernah melawan.
Kepala Sekolah: (berdiri dan menyampaikan keputusan dengan tegas)
"Setelah melihat rekaman tersebut, sekolah telah memutuskan bahwa Revan dan Siska akan
dikeluarkan dari sekolah ini dengan segera. Tidak ada tempat untuk perundungan di lingkungan
sekolah ini, apalagi tindakan kekerasan fisik. Albi, meskipun kau tidak terlibat langsung, kau
akan menerima bimbingan konseling karena diam saja ketika hal ini terjadi."
Revan terkejut, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Siska juga tampak hancur,
sementara Albi merasa lega karena tidak dikeluarkan, meski tetap malu dengan perannya. Titus
akhirnya bisa bernapas lega, sementara Amira menunduk dengan perasaan bersalah.
Revan: (dengan nada marah dan putus asa)
"Kalian nggak bisa lakukan ini! Aku nggak akan pergi begitu saja!"
Pak Tedy: (menatap Revan dengan tegas)
"Kau punya pilihan, Revan. Kau bisa menerima hukumanmu dengan bermartabat, atau terus
menolak kenyataan dan semakin mempermalukan dirimu sendiri."
Revan hanya berdiri, terdiam dan penuh kemarahan. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Siska
menatapnya dengan ekspresi marah dan kecewa, menyadari bahwa kekuatan yang selama ini
mereka banggakan akhirnya hancur begitu saja.
Kepala Sekolah:
"Rapat ini selesai. Revan dan Siska, silakan pergi dan urus administrasi pengeluaran kalian.