Page 12 - suara yang dibungkam
P. 12
Titus: (memotong, dengan nada pahit)
"Jadi kau lebih memilih diam dan biarkan mereka terus mengancamku? Kau temanku, Amira.
Tapi kau selalu berpihak pada mereka."
Amira: (berbisik pelan)
"Aku bukan berpihak pada mereka. Aku cuma... aku nggak tahu harus gimana."
Revan tersenyum puas, menyadari bahwa Amira tidak akan membantu Titus. Ia kemudian
berbalik lagi pada Titus dengan tatapan penuh kemenangan.
Revan:
"Kau dengar itu? Bahkan 'temanmu' sendiri tahu mana yang lebih baik buatnya. Jadi, aku kasih
peringatan terakhir, Titus. Tutup mulut, atau kau akan menyesal."
Suasana semakin tegang, dan Titus tahu bahwa tidak ada yang bisa diandalkan saat ini. Ia
menatap tajam ke arah Revan, kemudian ke Amira, yang masih terlihat bingung dan tertekan.
Setelah itu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan lorong dengan perasaan campur aduk antara
marah, kecewa, dan ketidakberdayaan.
Siska: (setelah Titus pergi, tersenyum licik)
"Lihat? Dia tahu tempatnya."
Revan: (mengangguk puas, lalu menatap Albi)
"Sudah selesai. Kau lihat, Albi, kalau kau cukup keras, mereka semua akan tunduk."
Albi hanya menunduk, merasa semakin tidak nyaman dengan peran yang ia mainkan dalam
perundungan ini, namun tetap tidak berani melawan Revan. Amira berdiri di tempatnya,
menatap Titus yang semakin menjauh dengan perasaan bersalah, tetapi terlalu takut untuk
mengambil tindakan.
Revan, Siska, dan Albi berjalan pergi, meninggalkan Amira sendirian di lorong. Ia terdiam, tahu
bahwa ada sesuatu yang salah, tapi masih terjebak dalam dilema moral yang membuatnya tak
bisa bergerak.
Setting: Hari kelima, di ruang guru dan aula sekolah. Revan, Siska, Albi, Titus, Amira, dan Pak
Tedy dipanggil untuk menghadiri rapat darurat. Kejadian di halaman belakang sekolah telah
tertangkap kamera CCTV, dan pihak sekolah akhirnya mengetahui perundungan yang dilakukan
oleh Revan dan Siska. Semua karakter hadir di ruangan ini dengan suasana tegang. Kepala
sekolah duduk di depan, sementara Pak Tedy berdiri di samping.