Page 11 - suara yang dibungkam
P. 11
Siska: (dari belakang, dengan nada sinis)
"Kau tahu, Titus, kalau cerita itu sampai keluar, orang-orang akan mulai berbicara. Dan kau tahu
siapa yang akan paling diuntungkan? Kami, bukan kau."
Titus: (merasa semakin tertekan, tapi tidak ingin tunduk)
"Aku nggak peduli dengan urusan kalian berdua. Apa yang kalian lakukan itu urusan kalian.
Tapi jangan berpikir kalian bisa terus membully aku dan berharap aku diam saja."
Revan: (matanya menyipit, nadanya semakin rendah)
"Dengar baik-baik, Titus. Kalau kau buka mulut tentang kami, aku pastikan setiap hari di sekolah
ini jadi mimpi buruk buatmu. Tidak akan ada tempat aman untukmu. Dan bukan cuma di
sekolah."
Albi: (dengan cemas, mencoba menenangkan situasi)
"Revan, mungkin kita bisa ngomong baik-baik aja? Nggak perlu sampai ngancam-ngancam
gini."
Revan: (menatap tajam ke arah Albi)
"Albi, diam! Kau selalu ikut campur di saat yang salah. Ini urusanku, bukan urusanmu."
Albi menghela napas panjang, merasa semakin tidak nyaman. Ia tahu apa yang dilakukan Revan
salah, tapi takut untuk benar-benar melawan.
Titus: (dengan suara tegas, mencoba menguatkan dirinya)
"Aku nggak takut padamu, Revan. Kau pikir bisa terus mengancam orang dan selalu lolos begitu
saja? Suatu saat, kau akan jatuh."
Revan: (tertawa sinis)
"Jatuh? Aku? Di sini, akulah yang mengatur semuanya. Kau cuma anak kampung yang nggak
punya kuasa apa-apa. Jadi kalau kau tahu apa yang baik buatmu, kau akan diam dan melupakan
semuanya."
Siska: (menambahkan dengan nada mengejek)
"Dan jangan lupa, Titus. Amira juga tahu tempatnya. Kau tidak bisa berharap pada siapa pun."
Amira, yang mendengar namanya disebut, akhirnya mendekat dengan ragu. Ia terlihat cemas,
namun tidak mengatakan apa-apa.
Titus: (melihat Amira dengan tatapan kecewa)
"Amira... kau tahu apa yang terjadi. Kau melihat semuanya. Kenapa kau selalu diam?"
Amira: (terlihat bingung dan tertekan, menundukkan kepalanya)
"Titus, aku nggak mau masalah ini jadi lebih besar. Ini sudah cukup buruk. Aku nggak bisa—"