Page 6 - suara yang dibungkam
P. 6
Pak Tedy: (menatap Revan dengan pandangan tajam dan serius)
"Revan, kekuatan sejati itu bukan berasal dari merendahkan orang lain. Kekuatan sejati datang
dari bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan hormat, terlepas dari perbedaan kita."
Pak Tedy lalu mengalihkan pandangan ke Albi, yang sejak tadi tampak gelisah.
Pak Tedy: (dengan nada lebih lembut)
"Albi, kau selalu mengikuti Revan ke mana pun. Apa yang kau rasakan saat semua ini terjadi?
Apakah kau benar-benar setuju dengan apa yang dia katakan dan lakukan?"
Albi: (terlihat bingung, tampak ragu)
"Aku... aku cuma... aku nggak mau cari masalah, Pak. Revan teman baikku, dan aku cuma... ya,
cuma ikut aja. Aku nggak mau dia marah kalau aku nggak setuju."
Pak Tedy: (mengangguk pelan, memahami, tapi tetap tegas)
"Albi, mengikuti sesuatu yang salah hanya karena kau takut, itu bukan tanda keberanian. Justru
keberanian adalah ketika kau berdiri untuk hal yang benar, meskipun itu tidak mudah."
Albi menunduk, merasa bersalah, tapi tetap diam. Pak Tedy kemudian menatap Revan lagi, yang
mulai terlihat tidak nyaman dengan arah percakapan ini.
Pak Tedy:
"Revan, kau punya pengaruh besar di sini. Tapi pengaruh itu bisa digunakan untuk kebaikan atau
keburukan. Mengapa kau merasa perlu merendahkan orang lain, terutama berdasarkan hal-hal
yang tidak bisa mereka ubah seperti warna kulit?"
Revan: (mencoba menghindar, tetapi akhirnya bicara)
"Aku... aku nggak merendahkan siapa pun. Aku cuma bilang yang sebenarnya. Dunia ini keras,
dan kalau mereka nggak bisa tahan, ya mereka kalah. Itu kenyataan, Pak."
Pak Tedy: (dengan nada lembut namun tegas)
"Dan menurutmu, itu alasan yang cukup untuk menyakiti orang lain? Untuk membuat mereka
merasa rendah? Apakah dengan itu, kau merasa lebih unggul, lebih kuat?"
Revan terdiam sejenak, tatapan Pak Tedy yang tajam membuatnya merasa canggung. Siska yang
dari tadi diam, tiba-tiba ikut bicara dengan nada sinis.
Siska:
"Pak, menurut kami, ini masalah sederhana. Mereka lemah, kami kuat. Itu aja. Kalau mereka
merasa direndahkan, ya mereka harus lebih tegar, bukannya terus ngeluh."
Pak Tedy: (menatap Siska dengan kekecewaan)
"Siska, kekuatan bukan diukur dari seberapa keras kita bisa menjatuhkan orang lain. Kekuatan
yang sejati justru datang dari kemampuan kita untuk mendukung, menghormati, dan menjaga
satu sama lain."