Page 5 - suara yang dibungkam
P. 5
Revan: (berusaha menjaga wibawa, tersenyum kecut)
"Kami nggak ada maksud buruk, Pak. Kalau Titus tersinggung, itu masalah dia."
Pak Tedy: (dengan nada lebih serius)
"Revan, jangan pernah lupa, tindakan kalian mencerminkan siapa kalian sebenarnya. Dan di sini,
di sekolah ini, tidak ada tempat untuk merendahkan orang lain."
Pak Tedy menatap seluruh siswa di kantin, lalu kembali ke Revan dan Siska.
Pak Tedy:
"Sekarang, saya minta kalian merenung. Besok, kita akan lanjutkan pembicaraan ini di kelas."
Titus akhirnya duduk kembali dengan Amira, merasa sedikit lega. Revan, Siska, dan Albi diam,
tak lagi melanjutkan ejekan mereka. Namun, jelas bahwa ini baru awal dari konflik yang lebih
besar.
Setting: Hari kedua di dalam kelas, setelah kejadian perundungan di kantin. Kelas sepi karena
siswa lain sedang mengikuti kegiatan di luar kelas. Hanya ada Revan, Siska, Albi, dan Pak Tedy
yang berdiri di depan mereka. Suasana tegang, tapi Revan tetap berusaha menunjukkan sikap
santai.
Pak Tedy: (dengan nada tenang tapi penuh kewibawaan)
"Kalian tahu mengapa saya memanggil kalian ke sini, bukan?"
Revan: (berusaha terlihat santai, meski jelas merasa terganggu)
"Iya, Pak. Tapi kan kami udah bilang kemarin, itu cuma bercanda. Nggak perlu diperpanjang,
kan? Kita semua temenan di sini."
Siska: (menyela dengan nada angkuh)
"Iya, Pak. Kami nggak ada niat buat menyakiti siapa pun. Kalau Titus tersinggung, itu urusan
dia. Dia aja yang baper."
Pak Tedy: (menatap tajam ke arah Siska)
"Siska, ada garis tipis antara bercanda dan perundungan. Ketika 'candaan' kalian didasarkan pada
warna kulit atau asal-usul seseorang, itu bukan lagi sekadar bercanda. Itu perundungan, dan
perundungan tidak pernah diterima di sini."
Albi: (merasa gelisah, tapi tetap diam, hanya melirik Revan dengan cemas)
Revan: (membalas dengan nada defensif)
"Pak, maaf saja, tapi kami nggak ngerasa salah. Kalo Titus itu terlalu sensitif, ya itu masalah dia.
Dia harus lebih kuat, bukan lemah kayak gitu. Lagipula, di dunia nyata, nggak ada yang peduli
soal kulit atau asal-usul. Yang penting, siapa yang lebih kuat."