Page 4 - suara yang dibungkam
P. 4
Titus: (mulai terlihat marah, tapi tetap menundukkan kepala, menghela napas panjang)
"Kalian nggak tau apa-apa tentang aku."
Siska: (terus memprovokasi)
"Oh, kami tahu kok. Kau dari mana, kulitmu kayak apa. Itu udah cukup buat kami." (tertawa
lagi)
Albi: (melirik ke kanan kiri, merasa tidak nyaman dengan situasi ini)
"Revan, Siska... udahlah, kita makan aja. Aku lapar."
Revan: (dengan nada meremehkan)
"Ah, Albi! Kau ini kenapa sih? Ini cuma bercanda. Kalau mereka nggak kuat, berarti mereka
lemah."
Amira: (berbisik lagi kepada Titus)
"Titus, sudah, kita pergi saja. Nggak ada gunanya berdebat sama mereka."
Titus: (perlahan berdiri, tatapannya penuh kekecewaan, tapi dia tahu tak ada gunanya melawan)
"Amira, aku capek terus-terusan harus lari. Mereka nggak akan berhenti."
Saat Titus hendak pergi, Pak Tedy tiba-tiba muncul di dekat mereka, memperhatikan percakapan
dari kejauhan. Suaranya tenang, tapi tegas.
Pak Tedy:
"Titus, Amira, duduklah kembali. Kita akan selesaikan ini sekarang."
Revan, Siska, dan Albi terlihat kaget dengan kedatangan Pak Tedy, tetapi Revan berusaha tetap
terlihat santai.
Revan: (tersenyum licik, mencoba menutupi rasa terkejut)
"Wah, Pak Tedy! Kami cuma bercanda kok. Nggak ada yang serius, kan, teman-teman?"
Pak Tedy: (menatap tajam ke arah Revan, lalu melihat ke arah Siska)
"Kadang, candaan bisa lebih menyakitkan daripada yang kalian sadari. Dan kadang, orang yang
paling lemah adalah yang merasa harus selalu terlihat kuat dengan merendahkan orang lain."
Siska: (mendesis pelan, berusaha tersenyum)
"Pak, kami nggak maksud apa-apa kok. Cuma bercanda."
Pak Tedy: (menatap ke arah Siska dengan tegas)
"Candaan yang menjatuhkan orang lain, terutama berdasarkan sesuatu yang tak bisa mereka ubah
seperti warna kulit, itu bukan candaan, Siska. Itu perundungan."
Suasana kantin hening. Semua siswa memperhatikan percakapan ini. Revan terlihat kesal,
namun tidak berani melawan langsung Pak Tedy.