Page 6 - dear-dylan
P. 6

“Gitu dong,” kata Dylan sambil mengacak rambutku sayang. “Yuk masuk.”
                    Dylan  menggandengku  memasuki  Sushi  Tei,  dan  si  penerima  tamu  di  depan  sana
               terlongong-longong begitu mengetahui siapa yang membuatku mondar-mandir di depan restoran
               tempatnya bekerja selama dua jam tadi. Mungkin dalam hatinya dia bersyukur nggak mengusirku,
               karena kalau iya, mungkin dia seumur hidup nggak akan punya kesempatan lagi untuk melihat
               Dylan hanya berjarak setengah meter darinya.
                    “Say, pesan apa?”
                    Aku membolak-balik buku menu dengan tampang bloon. To be honest, aku nggak suka sushi.
               Yah, nggak pantang-pantang banget sih. Aku cukup suka dragon roll, juga shrimp ‘n cheese, tapi itu
               pun yang biasa kumakan di bistro sushi milik teman kakaknya Grace, yang adalah sobat kentalku.
               Aku nggak berani ambil risiko untuk mencoba menu yang sama juga di sini, siapa tahu rasanya
               beda. Lidahku agak rewel kalau menyangkut sushi.
                    “Ehm, maaf, tapi Mas ini Dylan-nya Skillful, ya?”
                    Aku mendongak mendengar pertanyaan itu, dan melihat waitress Sushi Tei sedang menatap
               Dylan  dengan  jenis  tatapan  omigod-ada-seleb-di-depan-gue!,  dan  dia  tampak  amat  sangaaattt
               terpesona.  Dylan,  sementara  itu,  mengangguk  dengan  refleks.  Cara  mengangguk  yang  kentara
               sekali sudah terlatih. Bukan jenis anggukan yang terlalu sombong, tapi bukan juga yang terlalu
               riang gembira, yang membuatnya terlihat terlalu antusias karena ada yang menyadari dia seleb.
                    “Waaaahhh!” seru waitress itu bersemangat. “Maaf kalau saya mengganggu, tapi saya boleh
               minta tanda tangannya? Boleh foto bareng?”
                    Dylan, sekali lagi, mengangguk. Cara mengangguknya... yah, seperti yang kujelaskan tadi.
                    “Di mana saya harus tanda tangan?”
                    Si waitress tergopoh-gopoh mencari media kosong yang bisa dipakainya untuk mendapatkan
               tanda tangan Dylan, dan akhirnya dia menyodorkan sehelai kertas putih dengan bolpoin. Dylan
               menandatanganinya, lalu mengembalikan kertas itu, bonus senyum.
                    “Ehh... foto barengnya?”
                    “Boleh,” kata Dylan lagi.
                    Si waitress mengeluarkan HP-nya dari dalam saku, lalu tampangnya berubah bingung karena
               tak tahu bagaimana harus memotret dirinya dan Dylan bersama-sama.
                    “Sini, Mbak, saya aja yang fotoin,” kataku menawarkan diri, dan si waitress kelihatan seolah
               dia baru dikabari akan naik gaji.
                    “Aduuuhh,  makasih  sekali  ya,  Mbak,”  katanya  dengan  nada  puja-puji.  “Boleh  saya  minta
               foto dua kali?”
                    Aku mengangguk. Bonus senyum. Dua kali flash menyala, dan kukembalikan HP itu kepada
               pemiliknya.
                    “Aduh, makasih ya, Mas Dylan, Mbak... ngg...”
                    “Alice,” Dylan melanjutkan, “dia pacar saya.”
                    Aku harus mengakui dengan malu bahwa sampai sekarang, aku masih sering terlongong saat
               Dylan memperkenalkanku sebagai  pacarnya di depan orang  lain.  Tahun lalu, kami harus total
               menyembunyikan hubungan kami karena...
                    Yah, sudahlah, pokoknya aku senang karena sekarang aku dan Dylan bisa go public tanpa ada
               ancaman dari pihak mana pun.
                    “Ah iya, Mbak Alis!” kata si waitress dengan nada sok tahu. Aku ingin membetulkan caranya
               menyebutkan namaku, yang seharusnya “Ellys” dan bukannya “Alis”, tapi biar sajalah. Namaku
               memang selalu terpeleset di lidah orang Indonesia.
   1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11