Page 7 - dear-dylan
P. 7

“Nah, Say, pesan apa?” Dylan mengulangi pertanyaannya beberapa menit lalu.
                    Aku membolak-balik buku menu sekali lagi, dan berusaha memilih satu di antara jajaran foto
               sushi itu yang kelihatannya-akan-oke-berada-dalam-perutku.
                    Aha, ini dia! Baked Salmon Takamaki! Kelihatannya enak!
                    “Salmon  Takamaki-nya  satu,  Mbak,”  kataku  sok  ahli,  seolah  itulah  makanan  yang  selalu
               kupesan kalau aku datang ke Sushi Tei.
                    “Salmon Takamaki satu. Minumnya?”
                    “Ngg... orange juice deh.”
                    “Orange juice satu, oke. Mas Dylan pesan apa?” Dia beralih menatap Dylan dengan tatapan
               amat sangaaatt terpesona yang tadi lagi, dan kali ini aku tersenyum geli sendiri.
                    Aku yang dulu menatapnya dengan jenis tatapan seperti itu... Aku yang, sampai sekarang,
               setelah setahun berlalu, masih nggak percaya aku bisa pacaran dengan Dylan, yang dipuja-puji
               sebegitu banyak cewek di Indonesia. Tuhan sudah begitu baik padaku...
                    “Inari-nya dua. Chuka Kurage satu. Sama Chicken Katsu deh.”
                    Si  waitress  mengulangi  pesanannya,  dengan  berlambat-lambat  (mungkin  dia  berharap  bisa
               selamanya mencatat pesanan Dylan, hehe), lalu pergi meninggalkan kami berdua.
                    “Aku curiga,” kata Dylan.
                    “Apa? Kalau waitress tadi naksir kamu? Aku nggak kaget.”
                    “Haha,  Say,  akhir-akhir  ini  sarkasmemu  sedang  tinggi,  ya?  Dapat  tugas  bahasa  Inggris
               menulis drama satir lagi?” godanya.
                    Aku  cemberut.  Ini  karena  aku  kadang  nggak  tahan  dengan  segala  tekanan  menjadi  pacar
               seleb, dan mood-ku jadi nggak keruan karenanya. Sedikit happy, lalu jadi supercemburuan, terlalu
               curiga, dan kembali tenang. Aku jadi bingung kenapa Dylan nggak mengalami hal yang sama, ya?
                    Ah iya, yang seleb kan dia. Jelas dia nggak merasakan stresnya punya pacar seleb.
                    “Hmm, atau kamu lagi PMS? Pengin Marah Selalu?” Dia menggodaku lagi.
                    “Nggak!” seruku malu. Ngapain sih dia menyinggung-nyinggung soal PMS segala?
                    Eh,  tapi  dia  betul-betul  mengingat  omongan  ngawurku,  bahwa  aku  mendefinisikan  PMS
               bukan  hanya  dengan  Pre-Menstrual  Syndrome,  tapi  juga  dengan  Pengin  Marah  Selalu.  Dasar
               Dylan, pantas aja dia masuk fakultas hukum, otaknya Pentium Intel Core Duo 2 begitu.
                    “Bener nih? Kok kayaknya kamu lagi senewen gitu? Mau aku pesankan es krim?”
                    Ah, lagi-lagi dia ingat kalau cuma es krim lah yang bisa menenangkan emosiku saat PMS atau
               mood kacau-balau. Dia ini benar-benar pacar yang baik, tahu nggak? Hafal apa saja kesukaanku,
               pacarnya yang aneh ini.
                    “Nggak usah, aku nggak papa kok. Lagian di sini bukan Häagen-Dazs, nggak jual es krim.”
                    Dylan tersenyum geli. Entah kenapa, dia sepertinya selalu menganggapku cewek yang sangat
               lucu.  Padahal  aku  jelas-jelas  clumsy.  Kikuk.  Canggung.  Tak  bisa  menempatkan  diri.  Hanya
               beruntung saja jadi pacarnya.
                    “Kamu mau ngomong apa tadi?” tanyaku akhirnya.
                    “Apa? Es krim?”
                    “Bukaaann. Yang soal curiga-curiga tadi itu lho. Kamu curiga apa?”
                    “Oohh... aku curiga, model video klip tadi sengaja dipilih Bang Budy untuk balas dendam
               sama aku.”
                    “Balas dendam? Emang kenapa? Modelnya siapa?” Tak urung aku penasaran juga, kepingin
               tahu siapa model yang dibayar untuk menampar cowokku, walau hanya dalam video klip.
                    “Regina Helmy.”
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12