Page 99 - dear-dylan
P. 99

Gue terdiam, tapi detik berikutnya ngakak selebar-lebarnya. Mbak Vita memang kocak,
               lagi marah aja bisa sambil bercanda!
                    “Iya deh, Mbak, sori, haha... Ini juga makanya aku nyalain HP...”
                    “Ya deh, gue maafin, asal habis ini nggak pakai aksi mogok terima telepon lagi, ya!”
                    “Beres, Bos!”
                    “Terus ini nih... gue mau tanya kronologis rusuh di konser lo.”
                    Gue terdiam. Sebenernya gue lagi nggak kepingin membahas masalah itu. Mengingatnya
               lagi saja, gue sudah bergidik, apalagi kalau disuruh menceritakan ulang.
                    “Wah,  sori,  sori,  Lan...  gue  nggak  peka,  ya?  Lo  pasti  lagi  nggak  kepingin  ngebahas.
               Udah, lupain aja permintaan gue yang tadi.”
                    Nah, itu tahu. “Mmm iya, Mbak. Makasih.”
                    “Ya udah, take care ya di sana. Gue doain semuanya lancar-lancar aja. Lo juga banyak
               berdoa, biar tenang.”
                    “Iya, Mbak. Thanks yaa.”
                    Mbak Vita memutus sambungan teleponnya, dan nyariiiss saja gue memasukkan HP ke
               dalam tas lagi, waktu HP itu berbunyi. Busyet, kenapa bisa beruntung gini sih? Apa sudah
               waktunya gue punya asisten pribadi untuk menjawab telepon-telepon yang masuk?
                    Hah? Papa?
                    “Halo?”
                    “Dylan,” kata Papa dengan suaranya yang berat di seberang sana. Gue langsung tegang.
               Gue  bisa  dengan  mudah  menghadapi  omelan  Mama,  kebawelan  Tora,  dan  nasihat-nasihat
               Mbak  Vita,  tapi  kalau  Papa...  gue  selalu  berusaha  sebisa  mungkin  nggak  membuat  Papa
               marah.
                    “Iya... iya, Pa?”
                    “Kamu baik-baik saja, kan, di sana?”
                    “Ehh... iya, Pa, baik-baik aja kok...”
                    “Ya sudah, Papa cuma kepingin tau itu saja. Jangan matikan HP lagi.”
                    Gue menggigit bibir. “Iya, Pa, iya... Aku nggak matikan HP lagi kok.”
                    “Bagus. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari Papa, Mama, Tora, Vita, Alice, pokoknya
               kami semua.”
                    Waduh,  wajib  siap  sedia  pulsa  yang  banyak  nih,  kalau  yang  harus  gue  telepon
               serombongan orang begini. “Iya, Pa.”
                    “Dan jangan bertingkah seperti anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa.”
                    GLEK!  Jangan  bertingkah  seperti  anak  kecil  lagi,  kata  bokap  gue!  Huuuh,  kadang-
               kadang gue berharap gue ini masih anak kecil, jadi nggak bakal dimarahi kalau bertingkah
               seperti anak kecil juga!
                    “Ya sudah. Jaga diri baik-baik di sana. Telepon Alice, ya? Kasihan dia.”
                    Papa  menutup  teleponnya,  dan  gue  merasa  dapat  serangan  sakit  gigi  mendadak.  Dari
               dulu memang bokap gue irit bicara. Seperlunya saja, bener-bener bertolak belakang dengan
               anggota keluarga gue lainnya, yang... mmm... bawel. Tapi kalau Papa sudah angkat bicara,
               gue selalu nggak berkutik.
                    Bahkan Papa pun menyuruh gue telepon Alice!
                    Hah? HP gue bunyi lagi??? Ya ampun, siapa sihh?
                    Lho... Ernest?
   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104