Page 146 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 146

asing baginya karena banyak praktik klinis semasa sekolah dilakukan di rumah sakit itu; apalagi letak                  Setelah berumah tangga kariernya sebagai dokter terus menanjak. Pengetahuannya pun semakin dalam
                                           gedungnya tidak jauh dari tempatnya menuntut ilmu. CBZ sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah                        dan luas. Pada tahun 1941 Bahder Djohan dipindahkan tugas ke Semarang. Ia diangkat menjadi Kepala
                                           Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Selama bekerja di rumah sakit itu ia menjumpai kenyataan bahwa                        Bagian Wanita dan Anak. Pada waktu itu ia sedang menyusun disertasi dan siap mempromosikannya
                                           bagaimana pun tinggi pendidikan kaum pribumi, nilainya di kalangan orang Belanda hanya setengah dari                   untuk mencapai gelar akademik tertinggi. Akan tetapi niat itu tidak kesampaian karena Jepang masuk
                                           orang Belanda. Hal ini terbukti dari gaji yang diterimanya per bulan hanya 250 gulden, sementara itu                   ke  Indonesia  dan  membekukan  semua  kegitan  sekolah  seperti halnya  membubarkan  organisasi-
                                           teman sekelasnya yang orang Belanda menerima gaji 500 gulden per bulan.                                                oraganisasi politik dan masyarakat yang ada pada waktu itu. Namun karena kebutuhan tenaga medis
                                                                                                                                                                  guna mendukung politik perang Jepang pada tanggal 1 April 1943 sekolah kedokteran diaktifkan
                                           Perlakuan diskriminatif ini secara langsung semakin memperteguh semangat Bahder Djohan untuk                           kembali dengan nama Ika Daigaku.  Bahder Djohan ditarik menjadi salah seorang tenaga pengajar
                                                                                  10
                                           memperjuangkan  kemerdekaan Indonesia.   Apalagi selama  bekerja  di rumah  sakit  itu  ia  sering                     dengan pangkat Asisten Professor.
                                           diejek oleh rekan-rekan sekerjanya yang orang Belanda. Tentu saja ia pun mengalami hal-hal yang
                                           menyenangkan, antara lain pujian-pujian yang disampaikan oleh Prof. De Langen atas hasil kerjanya                      Walaupun menjadi asisten professor bukan berarti ia mendapat keistimewaan dari pemerintah
                                           yang baik.                                                                                                             pendudukan  Jepang. Ia  bersama  beberapa  tenaga  dosen  lain  bahkan  dicurigai oleh  pemerintah
                                                                                                                                                                  pendudukan Jepang sebagai orang yang menghasut para mahasiswa, sehingga ia sempat ditangkap.
                                           Setelah Kongres Pemuda II mendeklarasikan  Sumpah  Pemuda maka  sebutan  untuk Indische  Arts                          Setelah diinterogasi secara intensif, akhirnya ia dibebaskan.
                                           berubah  menjadi Indonesische  Arts.  Demikian  pula  perkumpulan  para  dokter  kaum  pribumi ikut
                                           berubah namanya  menjadi Vereeniging  van Indonesische Geneeskundigen  (VIG). Bahder Djohan                            Sebagai aktivis pergerakan nasional Indonesia ia mempunyai perhatian tersendiri kepada bangsa Jepang,
                                           termasuk salah satu aktivis VIG dan sejak tahun 1929 terpilih menjadi sekretaris, yang dijabatnya                      antara lain “jasanya” dalam membantu menyosialisasikan atau menyebarluaskan penggunaan bahasa
                                           sampai tahun 1939. Meskipun ia bekerja di lembaga pemerintah, namun hal itu tidak menjadi halangan                     Indonesia. Pemerintah Pendudukan Jepang melarang penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia
                                           baginya untuk tetap memperjuangan nasib bangsanya, antara lain melalui VIG. Melalui organisasi itu                     dan bahasa Jepang sebagai bahasa resmi di Indonesia. Dengan demikian bahasa Indonesia yang dicita-
                                           ia menuntut persamaan dan perlakuan antara dokter bangsa Indonesia dan bangsa Belanda atas dasar                       citakan menjadi bahasa persatuan bisa terwujud lebih cepat dari yang diperkirakannya.
                                           kompetensi yang tertuang dalam diploma dan pengalaman yang dimilikinya. Hal tersebut diperjuangkan
                                           bukan karena jumlah uangnya, tapi sikap diskriminatif dinilainya sebagai satu penghinaan yang sangat                   Dalam  situasi seperti itu  beberapa  tokoh  Indonesia  mendesak  untuk  mendirikan  suatu  komisi
                                           merendahkan derajat bangsa Indonesia.                                                                                  penyempurnaan bahasa Indonesia. Pihak Jepang terpaksa memfasilitasi hasrat bangsa Indonesia untuk
                                                                                                                                                                  menyempurnakan dan memngembangkan bahasa  persatuannya. Akhirnya  pada  20 Oktober 1943
                                           Perjuangan VIG tidak hanya dalam masalah gaji, tetapi juga dalam perlakuan lain yang juga dinilai                      didirikan Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia. Tugas pokok komisi ini menentukan terminologi
                                           diskriminatif.  Pada  waktu  itu  dunia  kedokteran menerbitkan  majalah  kedokteran  bernama                          atau peristilahan serta menyusun tata bahasa normatif dan menentukan kata yang umum bagi bahasa
                                           Geneeskundige Tijdschrijt van Nederlandsch Indië. Dokter Indonesia boleh berlangganan hanya sebagai                    Indonesia. Komisi ini dipimpin oleh Kepala Kantor Pengajaran Jepang yang mendapat bantuan dari
                                           anggota luar biasa. Peraturan ini dinilai diskriminatif oleh Bahder Djohan. Sebagai sekretaris VIG                     beberapa tokoh politik dan sastra, seperti Soekarno, Hatta, Suwandi, St. Takdir Alisjahbana, dan Abas
                                           ia menuntut agar peraturan itu dicabut dengan catatan kalau tuntutan itu tidak dikabulkan maka                         St Pamuntjak. Komisi kemudian memberi kesempatan kepada setiap disiplin ilmu untuk mengumpulkan
                                           para dokter bangsa Indonesia akan mengundurkan diri secara serentak dari keanggotaan dan                               istilah Indonesia dalam bidang ilmu bersangkutan. Para dokter Indonesia juga membentuk kepanitiaan
                                           keterikatannya  dengan  majalah  tersebut.  Akhirnya  pemerintah  mengabulkan  tuntutan  itu  dan                      guna mengumpulkan istilah-istilah kesehatan/kedokteran. Panitia ini diketuai oleh dr. Aulia, Bahder
                                           mencabut peraturan diskriminatif itu.                                                                                  Djohan sebagai wakil ketua, serta dr. Ahmad Ramali dan Abas St. Pamuntjak (ahli bahasa) sebagai
                                                                                                                                                                  anggota. Bahder Djohan berhasil mengumpulkan 3.000 istilah kedokteran dalam bahasa Indonesia. 11
                                           Sebagai mantan aktivis kongres pemuda, Bahder Djohan berupaya menyosialisasikan penggunaan
                                           bahasa Indonesia di lingkungan para dokter bangsa Indonesia. Upaya itu akhirnya menunjukkan hasil                      Dalam kasus bahasa Indonesia, Jepang memang terbukti membantu perkembangan dan perluasan
                                           sebagaimana terungkap, antara lain, dalam Kongres Perkumpulan dokter Indonesia yang diselenggarakan                    pemakaiannya. Akan tetapi dalam dunia kedokteran, pemerintah pendudukan Jepang mengorbankan
                                           pada tahun 1939 di Surakarta. Dokter Gularso menyampaikan prasarannya dalam bahasa Indonesia.                          para ahli kedokteran Indonesia akibat kelalaian seorang dokter Jepang dalam kasus pemberantasan
                                           Kejadian ini mendorong  banyak dokter Indonesia  yang menjadi anggota  perkumpulan itu mulai                           penyakit tetanus yang pada tahun 1944 menyerang lebih dari 1.000 orang  romusha.  Dari hasil uji
                                           menggunakan bahasa Indonesia di bidang kedokteran.                                                                     labolatorium  terungkap  bahwa  sebelum  terjangkit  penyakit  tetanus  para  romusha  disuntik  dengan
                                                                                                                                                                  vaksin kolera, tipus, dan disentri yang mengandung toksin tetanus. Polisi militer Jepang menangkap
                                           Karena kesibukan di dunia kedokteran sekaligus dunia politik mungkin membuat Bahder Djohan tidak                       hampir seluruh karyawan Labolatorium Eijkman, Jakarta. Dari sekian banyak orang yang ditangkap
                                           sempat memikirkan masalah pernikahan. Baru setelah umur menginjak 28 tahun, dan merasa sudah                           tersebut di antaranya Prof. Dr. Ahmad Muchtar (direktur Lab. Eijkman) dan tiga dokter lainnya, yaitu
                                           memiliki sedikit tabungan, ia mengutarakan keinginannya untuk hidup berumah tangga. Ia memilih sendiri                 Juhana Wiradikarta, MA Hanafiah, dan Sutarman. Prof. Ahmad Muchtar ditetapkan sebagai orang yang
                                           calon istrinya. Gadis pilihannya masih berasal dari suku Minangkabau, namun tidak berasal dari kampung                 harus bertanggung jawab atas epidemi tetanus yang menyerang para romusha.
                                           ayahnya ataupun kampung ibunya, melainkan dari kampung yang relatif jauh dari Padang atau Koto
                                           Gadang, yaitu dari Talawi, Sawahlunto, yang terkenal dengan tambang batubaranya. Gadis pilihannya                      Bahder Djohan mengetahui banyak mengenai kasus itu karena sebelumnya ia diperintahkan oleh
                                           bernama Siti Zairi Yaman, yang bekerja sebagai guru di Padang, yang ternyata keponakan Muhammad                        Prof. Dr. Tamija (orang Jepang), yang waktu itu menjabat sebagai Direktur CBZ, untuk memeriksa
                                           Yamin. Pernikahan diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1930 di Padang. Setelah menikah ia mendapat                       keadaan  perkampungan  romusha  di Klender. Pada  waktu itu diperkirakan  puluhan orang  romusha
                                           gelar “Marah Besar”. Tak lama setelah itu ia memboyong istrinya ke Jakarta. Dari perkawinannya ia                      mengidap penyakit meningitis (radang selaput otak). Untuk memastikan kebenarannya, Bahder Djohan
                                           dikaruniai seorang putri yang diberi nama Ilya Waleida dengan panggilan “Tita”.                                        meminta bantuan pihak Labolatorium Eijkman mengetes “fungsi lumbal” (tusukan tulang belakang).




                             134  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018                                                                                                             MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  135
   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151