Page 147 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 147

asing baginya karena banyak praktik klinis semasa sekolah dilakukan di rumah sakit itu; apalagi letak   Setelah berumah tangga kariernya sebagai dokter terus menanjak. Pengetahuannya pun semakin dalam
 gedungnya tidak jauh dari tempatnya menuntut ilmu. CBZ sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah   dan luas. Pada tahun 1941 Bahder Djohan dipindahkan tugas ke Semarang. Ia diangkat menjadi Kepala
 Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Selama bekerja di rumah sakit itu ia menjumpai kenyataan bahwa   Bagian Wanita dan Anak. Pada waktu itu ia sedang menyusun disertasi dan siap mempromosikannya
 bagaimana pun tinggi pendidikan kaum pribumi, nilainya di kalangan orang Belanda hanya setengah dari   untuk mencapai gelar akademik tertinggi. Akan tetapi niat itu tidak kesampaian karena Jepang masuk
 orang Belanda. Hal ini terbukti dari gaji yang diterimanya per bulan hanya 250 gulden, sementara itu   ke  Indonesia  dan  membekukan  semua  kegitan  sekolah  seperti halnya  membubarkan  organisasi-
 teman sekelasnya yang orang Belanda menerima gaji 500 gulden per bulan.   oraganisasi politik dan masyarakat yang ada pada waktu itu. Namun karena kebutuhan tenaga medis
               guna mendukung politik perang Jepang pada tanggal 1 April 1943 sekolah kedokteran diaktifkan
 Perlakuan diskriminatif ini secara langsung semakin memperteguh semangat Bahder Djohan untuk   kembali dengan nama Ika Daigaku.  Bahder Djohan ditarik menjadi salah seorang tenaga pengajar
 10
 memperjuangkan  kemerdekaan Indonesia.   Apalagi selama  bekerja  di rumah  sakit  itu  ia  sering   dengan pangkat Asisten Professor.
 diejek oleh rekan-rekan sekerjanya yang orang Belanda. Tentu saja ia pun mengalami hal-hal yang
 menyenangkan, antara lain pujian-pujian yang disampaikan oleh Prof. De Langen atas hasil kerjanya   Walaupun menjadi asisten professor bukan berarti ia mendapat keistimewaan dari pemerintah
 yang baik.    pendudukan  Jepang. Ia  bersama  beberapa  tenaga  dosen  lain  bahkan  dicurigai oleh  pemerintah
               pendudukan Jepang sebagai orang yang menghasut para mahasiswa, sehingga ia sempat ditangkap.
 Setelah Kongres Pemuda II mendeklarasikan  Sumpah  Pemuda maka  sebutan  untuk Indische  Arts   Setelah diinterogasi secara intensif, akhirnya ia dibebaskan.
 berubah  menjadi Indonesische  Arts.  Demikian  pula  perkumpulan  para  dokter  kaum  pribumi ikut
 berubah namanya  menjadi Vereeniging  van Indonesische Geneeskundigen  (VIG). Bahder Djohan   Sebagai aktivis pergerakan nasional Indonesia ia mempunyai perhatian tersendiri kepada bangsa Jepang,
 termasuk salah satu aktivis VIG dan sejak tahun 1929 terpilih menjadi sekretaris, yang dijabatnya   antara lain “jasanya” dalam membantu menyosialisasikan atau menyebarluaskan penggunaan bahasa
 sampai tahun 1939. Meskipun ia bekerja di lembaga pemerintah, namun hal itu tidak menjadi halangan   Indonesia. Pemerintah Pendudukan Jepang melarang penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia
 baginya untuk tetap memperjuangan nasib bangsanya, antara lain melalui VIG. Melalui organisasi itu   dan bahasa Jepang sebagai bahasa resmi di Indonesia. Dengan demikian bahasa Indonesia yang dicita-
 ia menuntut persamaan dan perlakuan antara dokter bangsa Indonesia dan bangsa Belanda atas dasar   citakan menjadi bahasa persatuan bisa terwujud lebih cepat dari yang diperkirakannya.
 kompetensi yang tertuang dalam diploma dan pengalaman yang dimilikinya. Hal tersebut diperjuangkan
 bukan karena jumlah uangnya, tapi sikap diskriminatif dinilainya sebagai satu penghinaan yang sangat   Dalam  situasi seperti itu  beberapa  tokoh  Indonesia  mendesak  untuk  mendirikan  suatu  komisi
 merendahkan derajat bangsa Indonesia.  penyempurnaan bahasa Indonesia. Pihak Jepang terpaksa memfasilitasi hasrat bangsa Indonesia untuk
               menyempurnakan dan memngembangkan bahasa  persatuannya. Akhirnya  pada  20 Oktober 1943
 Perjuangan VIG tidak hanya dalam masalah gaji, tetapi juga dalam perlakuan lain yang juga dinilai   didirikan Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia. Tugas pokok komisi ini menentukan terminologi
 diskriminatif.  Pada  waktu  itu  dunia  kedokteran menerbitkan  majalah  kedokteran  bernama   atau peristilahan serta menyusun tata bahasa normatif dan menentukan kata yang umum bagi bahasa
 Geneeskundige Tijdschrijt van Nederlandsch Indië. Dokter Indonesia boleh berlangganan hanya sebagai   Indonesia. Komisi ini dipimpin oleh Kepala Kantor Pengajaran Jepang yang mendapat bantuan dari
 anggota luar biasa. Peraturan ini dinilai diskriminatif oleh Bahder Djohan. Sebagai sekretaris VIG   beberapa tokoh politik dan sastra, seperti Soekarno, Hatta, Suwandi, St. Takdir Alisjahbana, dan Abas
 ia menuntut agar peraturan itu dicabut dengan catatan kalau tuntutan itu tidak dikabulkan maka   St Pamuntjak. Komisi kemudian memberi kesempatan kepada setiap disiplin ilmu untuk mengumpulkan
 para dokter bangsa Indonesia akan mengundurkan diri secara serentak dari keanggotaan dan   istilah Indonesia dalam bidang ilmu bersangkutan. Para dokter Indonesia juga membentuk kepanitiaan
 keterikatannya  dengan  majalah  tersebut.  Akhirnya  pemerintah  mengabulkan  tuntutan  itu  dan   guna mengumpulkan istilah-istilah kesehatan/kedokteran. Panitia ini diketuai oleh dr. Aulia, Bahder
 mencabut peraturan diskriminatif itu.  Djohan sebagai wakil ketua, serta dr. Ahmad Ramali dan Abas St. Pamuntjak (ahli bahasa) sebagai
               anggota. Bahder Djohan berhasil mengumpulkan 3.000 istilah kedokteran dalam bahasa Indonesia. 11
 Sebagai mantan aktivis kongres pemuda, Bahder Djohan berupaya menyosialisasikan penggunaan
 bahasa Indonesia di lingkungan para dokter bangsa Indonesia. Upaya itu akhirnya menunjukkan hasil   Dalam kasus bahasa Indonesia, Jepang memang terbukti membantu perkembangan dan perluasan
 sebagaimana terungkap, antara lain, dalam Kongres Perkumpulan dokter Indonesia yang diselenggarakan   pemakaiannya. Akan tetapi dalam dunia kedokteran, pemerintah pendudukan Jepang mengorbankan
 pada tahun 1939 di Surakarta. Dokter Gularso menyampaikan prasarannya dalam bahasa Indonesia.   para ahli kedokteran Indonesia akibat kelalaian seorang dokter Jepang dalam kasus pemberantasan
 Kejadian ini mendorong  banyak dokter Indonesia  yang menjadi anggota  perkumpulan itu mulai   penyakit tetanus yang pada tahun 1944 menyerang lebih dari 1.000 orang  romusha.  Dari hasil uji
 menggunakan bahasa Indonesia di bidang kedokteran.  labolatorium  terungkap  bahwa  sebelum  terjangkit  penyakit  tetanus  para  romusha  disuntik  dengan
               vaksin kolera, tipus, dan disentri yang mengandung toksin tetanus. Polisi militer Jepang menangkap
 Karena kesibukan di dunia kedokteran sekaligus dunia politik mungkin membuat Bahder Djohan tidak   hampir seluruh karyawan Labolatorium Eijkman, Jakarta. Dari sekian banyak orang yang ditangkap
 sempat memikirkan masalah pernikahan. Baru setelah umur menginjak 28 tahun, dan merasa sudah   tersebut di antaranya Prof. Dr. Ahmad Muchtar (direktur Lab. Eijkman) dan tiga dokter lainnya, yaitu
 memiliki sedikit tabungan, ia mengutarakan keinginannya untuk hidup berumah tangga. Ia memilih sendiri   Juhana Wiradikarta, MA Hanafiah, dan Sutarman. Prof. Ahmad Muchtar ditetapkan sebagai orang yang
 calon istrinya. Gadis pilihannya masih berasal dari suku Minangkabau, namun tidak berasal dari kampung   harus bertanggung jawab atas epidemi tetanus yang menyerang para romusha.
 ayahnya ataupun kampung ibunya, melainkan dari kampung yang relatif jauh dari Padang atau Koto
 Gadang, yaitu dari Talawi, Sawahlunto, yang terkenal dengan tambang batubaranya. Gadis pilihannya   Bahder Djohan mengetahui banyak mengenai kasus itu karena sebelumnya ia diperintahkan oleh
 bernama Siti Zairi Yaman, yang bekerja sebagai guru di Padang, yang ternyata keponakan Muhammad   Prof. Dr. Tamija (orang Jepang), yang waktu itu menjabat sebagai Direktur CBZ, untuk memeriksa
 Yamin. Pernikahan diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1930 di Padang. Setelah menikah ia mendapat   keadaan  perkampungan  romusha  di Klender. Pada  waktu itu diperkirakan  puluhan orang  romusha
 gelar “Marah Besar”. Tak lama setelah itu ia memboyong istrinya ke Jakarta. Dari perkawinannya ia   mengidap penyakit meningitis (radang selaput otak). Untuk memastikan kebenarannya, Bahder Djohan
 dikaruniai seorang putri yang diberi nama Ilya Waleida dengan panggilan “Tita”.  meminta bantuan pihak Labolatorium Eijkman mengetes “fungsi lumbal” (tusukan tulang belakang).




 134  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  135
   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152