Page 159 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 159
Wongsonegoro
Kangjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Mr. Wongsonegoro merupakan nama lengkap
Mr. Wongsonegoro, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) pada Kabinet Sukiman-
Suwirjo. Gelar yang melekat di depan namanya jelas menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga
yang asal muasalnya bukan dari kalangan rakyat biasa. Ayahnya, Raden Ngabehi (R.Ng.) Gitodiprojo,
seorang abdi dalem panewu Sri Susuhunan Pakubuwana X, Surakarta; sedangkan ibunya, Raden Ayu
(RA) Soenartinah, merupakan cucu buyut Mangkunegara II. Dari pasangan R.Ng. Gitodiprojo dengan
RA Soenartinah lahir 10 orang anak, lima anak laki-laki dan lima anak perempuan. Wongsonegoro
merupakan anak tertua yang lahir pada tanggal 20 April 1897. Nama yang diberikan oleh kedua orang
tuanya Soenardi, yang kemudian dilekatkan gelar kebangsawanan Raden Mas (RM), sehingga sewaktu
remaja dia dikenal dengan nama RM Soenardi.
Angka tahun kelahirannya menunjukkan bahwa Soenardi lahir pada masa Surakarta khususnya dan
Indonesia pada umumnya masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda bernama Hindia
Belanda. Pada waktu itu kedudukan para priyayi, termasuk ayah Soenardi, menjadi bagian kekuasaan
dan pemerintahan Surakarta yang nota bene menjadi “abdi pemerintahan” Hindia Belanda, atau dengan
kata lain telah berkompromi dengan pemerintahan kolonial Belanda. Meskipun demikian, para priyayi
luhur, Raja Jawa dan keluarganya, masih tetap menjadi yang dipertuan di negerinya sendiri. Demikian
pula Gitoprojo sebagai bagian dari dinasti (wangsa) priyayi luhur juga memiliki kekuasaan menjadi
Masa Jabatan pemimpin masyarakat.
27 April 1951 - 3 April 1952 Umumnya kaum priyayi luhur di Surakarta menyerahkan pengasuhan anaknya yang masih kecil kepada
pembantu atau keluarga tertentu yang menjadi abdi-nya. Merekalah yang mengasuh dan memberi
tuntunan serta mengajarkan adat istiadat, perilaku, norma-norma, dan nilai-nilai sesuai dengan adat
istiadat yang berlaku dalam lingkungan keluarga bangsawan Surakarta. Adapun yang terkait dengan
pendidikan tetap menjadi tanggung jawab langsung kedua orang tuanya. 1
Kebudayaan Jawa yang diserap Soenardi dari lingkungan, terutama dari para abdi yang mengasuhnya,
yang kemudian dipraktikan sejak umur belia ternyata cukup kuat mempengaruhi perilakunya. Setelah
menjadi seorang pemuda dan kemudian menjadi lebih dewasa, kecintaannya kepada budaya dan
seni semakin tampak. Ia menyenangi seni karawitan dan seni olah kanuragan ‘ilmu bela diri’ seperti
pencak silat. Ia mahir pula olah seni tari seperti ringgit purwa (wayang kulit). Kedua orang tuanya yang
membesarkannya rupanya memahami dan menyadari “hobi” anaknya itu. Dengan susah payah mereka
membelikan atau menyediakan seperangkat gamelan di rumahnya. Hal itu mereka lakukan karena
anaknya, Soenardi, sering menghimpun para pemuda temannya atau tetangganya berlatih karawitan.
Kegiatan tersebut sering dilakukan sejak tahun 1911 sewatu masih duduk di Meer Uit Gebreid Leger
Onderwijs (MULO).
Kebudayaan Jawa lain yang ditekuninya sampai akhir hayat adalah dunia kebatinan. Bagi kalangan njero
‘dalam’ keraton Sala khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya budaya spriritual seperti kebatinan
merupakan kebudayaan yang tak bisa diubah begitu saja oleh budaya-budaya lain, termasuk oleh budaya
besar seperti agama Islam dan Kristen. Beberapa penelitian akademik sudah membuktikan adanya
agama Kristen Jawa atau Islam abangan atau Islam priyayi seperti yang disampaikan Clifford Geertz.
Sejak kecil Soenardi tertarik pada dunia kebatinan yang diperkenalkan dan diajarkan oleh
kedua orang tuanya. Ia sering melakukan pasa, tapa brata, tirakat, serta melakukan perjalanan
spiritual, terutama ketika memperingati hari-hari penting atau manakala ada masalah penting,
seperti hari kelahiran atau menghadapi ujian sekolah. Ia pernah melakukan tirakat di makam
146 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 147