Page 161 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 161
leluhurnya yang berada di Desa Mayang dan Tirip di Kecamatan Getak yang berjarak 20 km dari tradisional Kasunanan Surakarta, yang secara tidak langsung sangat merugikan pihak Karaton Surakarta.
tempat tinggalnya. Ia sengaja datang ke dua desa itu dengan berjalan kaki. Kecintaan terhadap Dengan pengalaman sebagai aktivis gerakan pemuda, ia bertekad ikut membenahi sistem pemerintahan
dunia kebatinan itu diwujudkan pula dengan keikutsertaannya membentuk organisasi kebatinan Kasunanan Surakarta, agar tidak ada lagi alasan bagi pemerintah Hindia Belanda mencampurinya.
Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Setelah namanya berganti menjadi Wongsonegoro,
ia juga memperjuangkan masalah kebatinan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Meskipun dia termasuk kawula atau warga dalam Kasunanan, namun untuk bekerja di lingkungan
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dengan kata lain kebudayaan dan peradaban Jawa keraton ia tetap harus melalui masa yang disebut magang lebih dahulu. Sekitar dua tahun ia menjalani
sudah menjadi bagian dari hidupnya. 2 kerja magang sampai akhirnya diterima secara resmi sebagai pegawai Kasunanan. Pada tahun 1920 ia
diangkat menjadi pegawai Kantor Kepatihan dengan pangkat Panewu dengan gelar “Sastrosoewignyo”.
Wongsonegoro menikah dengan BRA Soewarni, putri Pangeran Koesoemodiningrat, seorang Pengalamannya sebagai pengurus Tri Koro Darmo ternyata sangat membantu melaksanakan pekerjaan
3
bangsawan terkemuka dari Kasunanan Surakarta. Dari pernikahan itu Wongsonegoro dikaruniai tujuh sebagai abdi Kasunanan, sehingga ia mampu memperbaiki struktur administrasi dan kinerja pemerintah
orang anak, yaitu RA Soenarni, RA Soenarsi, RM Soenarso, RA Sri Danarti, RA Endang Soetanti, RM Kasunanan. Oleh karena itu di samping pekerjaan utamanya ia diberi kepercayaan memimpin
Tripomo, dan RM Djoko Soedibjo. perkumpulan Krida Wacono.
Pada tahun 1917, setelah menamatkan pendidikan di Rechts School, Wongso bekerja di Pengadilan Karena prestasinya itu pada tahun 1921 ia diangkat menjadi jaksa dengan kedudukan sebagai Bupati
Negeri (Landraad) Surakarta. Setelah berhenti dari Pengadilan Negeri Surakarta, ia bekerja di Kantor Anom dan dianugerahi gelar RM Tumenggung Djaksodipura. Jabatan ini diemban sampai tahun 1924
4
Kepatihan dengan pangkat Panewu. Pada tahun 1921 ia diangkat menjadi jaksa, berkedudukan sebagai karena pada tahun tersebut ia mendapat tugas belajar ke Jakarta dari Kasunanan Surakarta pada
Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung (RT) Djaksanegoro. Tak lama kemudian ia mendapat jenjang pendidikan ilmu hukum yang lebih tinggi, yaitu pada Rechts Hooge School (RHS/Sekolah Tinggi
tugas (beasiswa) dari Kasunanan untuk melanjutkan belajar di Sekolah Tinggi Hukum (Recths Hooge Hukum). Karena kecerdasan yang disertai kedisiplinannya dalam membagi waktu belajar maka ia pun
School). Pada tahun 1924 ia pun lulus dan mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr./S.H.).
berhasil menyelesaikan masa studi tepat waktu. Pada tahun 1929 ia meraih gelar Meester in de Rechten
(Mr.) sehingga nama lengkapnya menjadi Mr. RMT Soenardi Djaksodipuro.
MASA BERSEKOLAH DAN PENGABDIAN DI KASUNANAN SURAKARTA
Selama menjalani tugas belajar di RHS Jakarta ia masih tetap memelihara hubungan dengan pihak
Umumnya rakyat Indonesia yang disebut pribumi (inlander) pada masa kolonial sangat sulit untuk keraton, bahkan pada bulan Februari 1926 ia diminta sebagai pembicara dalam pertemuan Narpo
memperoleh pendidikan formal, bukan saja karena jumlah sekolah yang sangat terbatas tetapi karena Wandowo. Pada kesempatan itu Soenardi, yang di kalangan Keraton Surakarta waktu itu disebut
penguasa kolonial memang membiarkan kebodohan menjadi bagian tak terpisahkan dari kaum pribumi. RMT Djaksadipuro, dikenal sebagai tangan kanan Wurjaningrat, menyampaikan pidato berisi kritikan
Keberadaan sekolah-sekolah formal di suatu daerah pada dasarnya terkait erat dengan kebutuhan dan setengah gugatan terhadap dominasi Pemerintah Hindia Belanda atas struktur pemerintahan
pemerintah dan pengusaha kolonial, dan bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena yang Kasunanan. Pidatonya mendapat tepukan meriah dari para hadirin.
5
dibutuhkan adalah tenaga-tenaga pribumi terampil yang mampu membaca dan berhitung, maka sekolah
yang didirikan juga sekolah-sekolah yang hanya melatih keterampilan dengan waktu hanya tiga atau lima Setelah meraih gelar Meester in de Rechten, Soenardi kembali mengabdikan diri di Kantor Kepatihan
tahun. Sekolah yang disebutan terakhir itu, di Surakarta, dikenal dengan nama Sekolah Angka Loro Surakarta. Pada tahun 1930 dia diangkat menjadi Bupati Ngayoko Sewu yang menangani Pangreh Praja
(Sekolah Desa kelas II). atau pemegang kebijakan di Kantor Kepatihan merangkap sebagai pemegang roda pengadilan keluarga
Sri Susuhunan Paku Buwono. Pada tahun itu ia dianugrahi gelar Kangjeng Raden Mas Tumenggung
Anak-anak para priyayi, termasuk Soenardi, mendapat keistimewaan karena “disamakan” dengan anak- oleh pemerintah Kasunanan sehingga namanya menjadi KRMT Mr. Wongsonegoro, yang lambat laun
anak Belanda sehingga boleh masuk sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak orang Belanda. Pada “mengubur” nama Soenardi. 6
masa belia, Soenardi dimasukkan ke Taman Kanak-kanak Belanda (TK–Forbel School). Setelah tamat
TK tahun 1905, ia masuk Europeeshe Lagere School (Sekolah dasar untuk orang-orang Eropa). Soenardi
tidak mengalami kesulitan selama menimba ilmu di ELS dan dapat menyelesaikan pendidikannya dengan TERJUN KE DUNIA POLITIK
baik dan tepat waktu. Setamat dari ELS ia masuk Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO/Pendidikan Soenardi alias Wongsonegoro mengenal dunia politik sewaktu masih menjadi pelajar Rechts School di
Menengah Pertama). Seperti halnya di ELS, Soenardi berhasil menyelesaikan pendidikannya di MULO Jakarta. Ia sangat berperhatian terhadap para pemuda STOVIA yang telah menginspirasi banyak pemuda
pada tahun 1914 dengan baik dan tanpa kendala. Setamat dari MULO ia terpaksa harus meninggalkan lain dengan mendirikan Budi Utomo. Sebagai seorang pemuda pelajar yang tumbuh dan mencari atau
kota Surakarta dan pergi mengembara ke Batavia karena sekolah lanjutan—Rechts School (RH/Sekolah memperkuat jati dirinya, ia merasa kecewa melihat perkembangan Budi Utomo yang lebih banyak
Hukum Menengah)—yang diminatinya tidak tersedia di kotanya dan hanya ada di Batavia. Tanpa tawar- dikuasai kaum tua dan kurang memperhatikan aspirasi kaum muda. Oleh karena itu, ia sepakat dengan
menawar ia pun pergi ke Batavia. Kemauan yang kuat dan dipadu dengan kecerdasan bawaan membuat para pemuda lain untuk mendirikan kembali organisasi yang dapat mewakili suara dan aspirasi kaum
Soenardi menyelesaikan pendidikan hukum pada tahun 1917 dengan baik dan sesuai dengan jadwal; muda. Sebenarnya bukan hanya Soenardi dan teman-temannya yang kecewa melihat perkembangan
padahal—di samping belajar di RH—ia pun aktif sebagai pengurus organisasi pemuda Tri Koro Darmo.
Budi Utomo, bahkan para pendirinya—seperti Cipto Mangunkusumo dan Sutomo—juga kecewa, yang
Setelah memperoleh sertifikat kelulusan dari Rechts School, Soenardi kembali ke Sala dan mulai akhirnya mengundurkan diri dari organisasi tersebut dan membentuk organisasi baru. Pada waktu itu,
merintis karier di dunia hukum. Ia bekerja pada Pengadilan Negeri (Landraad) Surakarta. Ia tidak Budi Utomo yang didominasi para priyayi Jawa lebih berorientasi pada kepentingan Belanda dan sangat
lama bekerja di lembaga pengadilan itu, hanya sekitar satu tahun, lalu mengundurkan diri. Ia tidak puas kooperatif, di samping tetap memelihara tujuan semula menghidupkan kembali Kejayaan Jawa Raya
dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang sering mencampuri urusan dalam pemerintahan atau Nasion Jawa. 7
148 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 149