Page 179 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 179

beberapa karya sastrawan luar negeri, seperti karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan   (drama, 1934), Sedjarah Peperangan Dipanegara (nonfiksi, 1945), Tan Malaka (nonfiksi, 1946), Gadjah Mada
 Rabindrananth Tagore.  (novel, 1948), Sapta Dharma (nonfiksi, 1950), Revolusi Amerika (nonfiksi, 1951), Proklamasi dan Konstitusi
               Republik Indonesia (nonfiksi 1951), Bumi Siliwangi (Soneta, 1954), Kebudayaan Asia-Afrika (1955), Konstitusi
 Pada perayaan ulang tahun ke-5 JSB tahun 1923 di Jakarta Yamin menyampaikan gagasan menyangkut   Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi (1956), 6000 Tahun Sang Merah Putih (1958), Naskah Persiapan
 Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia melalui pidato yang berjudul “Bahasa Melayu pada   Undang-undang Dasar, 3 jilid (1960), dan Ketatanegaraan Madjapahit, 7 jilid.
 Masa Lampau, Masa Sekarang, dan Masa Depan”. Dari pidatonya jelas tersirat optimismenya bahwa
 Bahasa Melayu-lah yang nanti akan menjadi bahasa kebangsaan Indonesia. Pada waktu itu ia mengubah
 sajak yang berjudul “Indonesia Tanah Tumpah Darah” sebagai berikut.  JEJAK DALAM RANAH POLITIK

               Telah  disinggung  sebelumnya  bahwa  Muhammad  Yamin  sudah  tertarik  kepada  kegiatan  yang  berbau
               politik sejak masih di sekolah tingkat menengah. Sewaktu Jong Soematranen Bond membuka cabang di
 Indonesia Tanah Tumpah Darah
               Sumatera Barat ia ikut bergabung di dalamnya, bahkan pernah menjadi ketua periode 1926–1928, padahal
 Duduk di pantai tanah yang permai  waktu itu ia belum lulus AMS. Namanya mulai mencuat di kalangan para pemuda pada Kongres Pemuda I
               yang diselenggarakan pada tahun 1926.
 Tempat gelombang pecah berderai
               Gagasan  untuk  berkongres  datang  dari Muhammad  Tabrani  yang  mendapat  tanggapan  positif  dari
 Berbuih putih di pasir terderai
               para aktivis pergerakan pemuda. Persiapan kongres dilakukan pada 15 November 1925 di gedung
 Tampaklah pulau di lautan hijau  Lux Orientis, Jakarta. Ada lima organisasi pemuda dan beberapa peserta perorangan yang hadir di
               hotel tersebut. Kelima organisasi itu ialah Jong Java, JSB, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, dan Sekar
 Gunung-gunung indah rupanya  Roekoen. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk Panitia Kongres Pemuda Indonesia.

 Tumpah darahku Indonesia namanya  Tujuan utama kongres adalah menggugah semangat kerja sama di antara berbagai organisasi pemuda di
               tanah air supaya dapat mewujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa
 Lihatnya nyiur melambai-lambai  di dunia. Adapun komposisi Panitia Kongres Pemuda itu sebagai berikut. Muhammad Tabrani (Jong
               Java) sebagai Ketua, Sumarto (Jong Java) sebagai Wakil Ketua, Djamaluddin Adinegoro (JSB) sebagai
 Berdesir bunyinya sesayup sampai
               Sekretaris, dan Suwarso (Jong Java) sebagai Bendahara. Nama lain yang duduk sebagai anggota adalah
 Tumbuh di pantai bercerai berai  Bahder Djohan (JSB), Jan Toule Soulehuway (Jong Ambon), Paul Pinontoan (Pelajar Minahasa), Hamami
               (Sekar Rukun), Sanusi Pane (Jong Bataks), dan Sarbaini (JSB).
 Memagar daratan aman aman kelihatan
               Kongres Pemuda yang pertama digelar dan diselenggarakan di Jakarta pada 30 April 1926 hingga 2 Mei
 Dengarlah ombak datang berlagu
               1926. Pada pidato pembukaan kongres, Tabrani—yang pada waktu itu menjadi wartawan Hindia Baroe
 Mengajar bumi ayah ibu  pimpinan Haji Agus Salim—meminta perhatian para peserta kongres untuk mencari jalan bagaimana
               memajukan semangat persatuan nasional di kalangan pemuda dengan menghindari segala sesuatu yang
 Indonesia namanya “Tanah Airku”  dapat memecah belah satu dengan yang lain. Semua harus saling mengulurkan tangan, bersatu untuk
               mewujudkan cita-cita bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia. Dalam kongres ini berbagai permasalahan
               dibahas, misalnya Bahder Djohan menyampaikan materi berjudul “Kedudukan wanita dalam masyarakat
 Sejak umur 18 tahun Yamin sudah mulai menulis sajak, terutama bila kalbunya tersentuh oleh nilai-nilai   Indonesia”; Paul Pinontoan membahas peran agama dalam gerakan nasional; dan Sumarto, dengan
 keindahan, keadilan, kebesaran Illahi, dan nilai-nilai lain, maka penanya pun mulai bergerak menuliskan   judul pidato “de Indonesische Eenheidsgedachte (Indonesia Bersatu)”, membahas pentingnya memupuk
 apa yang baru dirasakannya itu menjadi satu sajak.  semangat persatuan Indonesia. Sementara itu Djamaluddin Adinegoro yang dijadwalkan menyampaikan
               pidato terlambat datang dari Bandung, sehingga pidatonya dibacakan panitia. 8
 Pengetahuan Muhammad Yamin yang diserapnya dari dunia  pendidikan formal cukup luas, apalagi
 ditopang oleh kegemarannya membaca buku, yang membuatnya tidak segan-segan menggunakan bea   Salah satu materi pidato yang banyak menarik perhatian peserta kongres adalah pidato yang
 siswa atau uang kiriman orang tuanya untuk memborong buku. Koleksi bukunya melebihi 20.000 judul,   disampaikan oleh Muhammad Yamin, berjudul “De toekomst mogelijkhaden van de Indonesische talen
 suatu jumlah buku yang masih jarang dimiliki oleh umumnya orang Indonesia. Yamin sering tertidur   en letterkunde” (“Hari depan Bahasa-bahasa Indonesia dan Kesusasteraannya”). Yamin mengatakan
 dengan buku masih di tangan dan kacamata masih dipakainya. Tanpa bosan-bosannya ia membaca buku   bahwa hanya ada dua bahasa, yaitu Jawa dan Melayu, yang berpeluang menjadi bahasa persatuan. Dari
 tentang Indonesia, baik buku sejarah, bahasa, maupun tentang budaya pada umumnya.  kedua bahasa itu bahasa Melayu-lah yang akan lebih berkembang sebagai bahasa persatuan (Ik voor mij
               heb daarnaast de volle overtuiging, det Maleisch langzamerhand de aangewezen conversatie of zal” zal zijn
 Yamin dikenal mempunyai kekuatan membaca dan menulis luar biasa. Konon ia mampu mampu menulis   voor de Indonesiers end at de tookomstige Indonesische cultuur zijn uitdrukking in die taal vinden). 9
 selama tiga hari berturut-turut tanpa berhenti beristirahat sampai naskahnya selesai. Dari tangannya
 itu banyak karya dihasilkan dan dipublikasikan, baik pada masa sebelum Indonesia merdeka maupun   Pidato Yamin, yang merupakan pidato terpanjang dalam kongres itu, sempat diteliti terlebih dahulu
 setelah Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Beberapa karyanya itu antara lain Tanah Air (puisi, 1922),   oleh tiga orang panitia, yaitu Sanusi Pane, Djamaluddin, dan Tabrani. Ketiga orang itu setuju terhadap
 Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama, 1932), Ken Arok dan Ken Dedes   isinya, sehingga materi pidato tidak mengalami perubahan. Dalam rapat panitia perumus kemudian,




 166  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  167
   174   175   176   177   178   179   180   181   182   183   184