Page 199 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 199
Sarino Mangun Pranoto
Ki Sarino Mangun Pranoto lahir pada tanggal 15 Januari 1910 di Bagelen, Kabupaten Purworejo,
Keresidenan Kedu, Jawa Tengah. Setelah usianya cukup, ia dimasukkan ke Hollandsch Inlandsche School
(HIS/sekolah setingkat sekolah dasar, dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, yang diperuntukkan bagi
kaum pribumi) di Purworejo. Karena suatu alasan ia pindah sekolah di Kabumen. Setelah lulus HIS ia
mengikuti pelatihan mengajar di Taman Siswa. Selesai pelatihan pada tahun 1929 ia menghabiskan 13
tahun di wilayah pantai utara Pulau Jawa, terutama di daerah Pemalang, sebagai guru sampai akhirnya
menjadi Kepala Sekolah Taman Siswa Pemalang.
Taman Siswa merupakan lembaga perguruan yang didirikan oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar
Dewantara). Sejak awal didirikan lembaga pendidikan ini sangat kental dengan sifat nasionalisme (mulanya
nasional Indisch, kemudian menjadi nasional Indonesia). Sifat ini sangat menarik perhatian Sarino dan bahkan
mempengaruhi cara pandang Sarino terhadap perjuangan. Ia kemudian masuk ke kancah pergerakan
nasional. Selain menjadi pengurus Taman Siswa sejak tahun 1929–1943, ia juga menjadi anggota Partai
Indonesia (Partindo), suatu partai yang dianggap sebagai penerus Partai Nasional Indonesia (PNI ). 1
Ia merupakan tokoh yang disegani oleh masyarakat Pemalang, baik karena pendidikan dan ilmu
pengetahuan maupun karena kekayaan keluarganya (menurut pengakuan Sarino, mertuanya merupakan
tuan tanah di daerah Pemalang yang menguasai sekitar 12 ha sawah yang diperoleh dari para petani
2
Masa Jabatan yang meminjam uang kepadanya dan tak mampu mengembalikan uang pinjaman tersebut). Para tuan
tanah—bersama orang-orang yang mendapat pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang kemudian
24 Maret 1956 - 9 April 1957 menjadi pegawai pangreh praja serta para pedagang atau tuan tanah Cina—menjadi kelompok elit dalan
stratifikasi masyarakat Pemalang.
Meskipun mertuanya seorang tuan tanah, sosok Sarino sangat dihormati oleh masyarakat Pemalang
karena banyak prakarsanya yang justru sangat membantu masyarakat di wilayah itu. Sebagai tokoh
Taman Siswa ia juga menjadi penggerak pembentukan koperasi yang banyak membantu para petani dan
buruh mengatasi “kesulitan” dalam hal kekurangan modal atau kekurangan dana untuk membeli bibit
padi atau keperluan yang lain. Sarino mengajak Partindo dan organisasi-organisasi kemasyarakatan
lain menggunakan Gedung Taman Siswa umtuk rapat walaupun ia sendiri bukan anggota partai atau
organisasi bersangkutan.
Sarino juga aktif dalam organisasi kepanduan. Kegiatannya dalam organisasi kepanduan membuat ia
berkenalan dan secara pribadi akrab dengan para anggota pangreh praja. Oleh karena itu Taman Siswa
tidak pernah ditegur oleh pemerintah atau polisi walaupun mengizinkan gedungnya digunakan untuk
rapat-rapat politik, atau karena dengan sengaja tidak mengibarkan bendera Belanda pada hari ulang
tahun Ratu Wilhelmina, atau karena pada tahun 1933 tidak memecat guru-guru Taman Siswa yang
berdasarkan Ordonansi Sekolah Liar telah melanggar ketentuan. Pengaruh Sarino inilah yang, menurut
Anton Lucas, membuat kondisi sosial-politis Pemalang sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
agak berbeda dengan daerah Brebes dan Tegal. 3
Sarino sangat memahami situasi dan kondisi daerahnya, kabupaten dan kota Pemalang, terutama
hubungan antara kaum yang berpunya dan kaum yang tidak punya alias miskin. Oleh karena itu sewaktu
pecah kurusuhan di Pemalang, juga di Pekalongan dan Brebes, bukan suatu hal yang aneh baginya.
Faktor-faktor penyebabnya sudah tampak sejak masa akhir kolonial Belanda, terutama pada masa
Pendudukan Jepang. Ia mengatakan, “Keadaan di desa melarat.” 4
Pada masa pendudukan Jepang semua lembaga pendidikan ditutup oleh Pemerintahan Pendudukan
Jepang, tak terkecuali Taman Siswa, yang ditutup sejak bulan Maret 1943. Setelah peristiwa itu Sarino
186 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 187