Page 214 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 214
Menteri P. D. & K. Menteri P.P dan
menerima kunjungan K, Prof. Prijono
Menteri Kebudayaan menghadiri acara
USSR pada tanggal penyambutan secara
29 Februari 1960 adat di Kutaraja
(Sumber: (Sumber:
Perpustakaan Perpustakaan
Nasional Republik Nasional Republik
Indonesia) Indonesia)
penghapusan pembagian itu maka para peserta didik merasa sederajat dengan sesama temannya tanpa PGRI dengan membentuk dan mengajukan calon tandingan. Namun upaya itu tidak berhasil karena
memandang latar belakang kehidupan keluarganya. Subiyadinata tetap terpilih sebagai Ketua Umum PGRI
Dalam kurikulum Gaya Baru untuk tingkat sekolah menengah ada penambahan mata pelajaran baru, yaitu Upaya Soebandri dkk. menyingkirkan Subiandinata dari tampuk pimpinan PGRI tidak hilang begitu saja.
Ilmu Administrasi dan Kesejahteraan Keluarga. Kedua mata pelajaran baru itu bertujuan agar peserta didik Tiga tahun kemudian, pada Kongres X PGRI yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1962, Soebandri
mempunyai bekal sewaktu terjun bermasyarakat. Sementara itu pendidikan untuk tingkat Sekolah Taman dkk. mengedarkan selebaran yang isinya menyebutkan M.E. Subiyadinata anti Manipol/USDEK. Selebaran
Kanak-kanak dan Sekolah Dasar menekankan nilai-nilai dalam masyarakat dan masyarakat pulalah yang itu ditandatangani oleh 14 orang. Keempatbelas orang penandatangan selebaran itu dituduh sebagai
menentukan isi bahan pelajaran serta arah yang harus dikembangkan, dengan catatan tidak bertentangan fitnah, sehingga kemudian ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan. Namun Subiyadinata memohon
dengan filsafat dan dasar negara. Dengan kata lain peserta didik harus menjadi manusia Pancasila yang kepada para petugas untuk membebaskan mereka pulang ke daerah masing-masing. Peristiwa itu rupanya
bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat adil dan makmur. 11 berpengaruh kepada kongres, yang akhirnya menyepakati masuknya Pancasila dan Manipol/USDEK sebagai
dasar PGRI. Meskipun sudah dicapai kesepakatan untuk mencantumkan Pancasila–Manipol dan USDEK
PGRI DAN RETOOLING APARATUR PP DAN K dalam anggaran dasar PGRI, para penandatangan selebaran fitnah di bawah kordinator Soebandri tetap
berupaya menguasai organisasi guru sehingga perpecahan di tubuh PGRI tidak terhindarkan. Dasar dari
Salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu sistem pendidikan perpecahan itu memang sangat prinsipil. Kelompok atau kubu Subiyadinata melihat aksi-aksi Soebandri
adalah faktor guru. Di Indonesia pada masa itu jumlah guru relatif masih jauh dari mencukupi, dkk. dengan dalih machtsvorming en macthsaanwending ‘pembentukan kekuatan dan penggunaan kekuatan’
apalagi jika yang dibutuhkan guru yang sesuai kompetensi keilmuan dengan mata pelajaran yang sangat mengancam keselamatan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan generasi baru. Perpecahan
diampu. Upaya untuk menambah jumlah guru yang kompeten di bidangnya telah diupayakan di kalangan guru dinilai akan berdampak pula pada para peserta didik. Kubu Subiyadinata mengatakan
oleh beberapa Menteri PP&K, seperti Menteri Bahder Djohan, Menteri Muhammad Yamin, dan bahwa ancaman terhadap cita-cita proklamasi itu antara lain datang melalui sistem pendidikan Pancacinta
Menteri Suwandi Notokoesoemo. Walaupun pada masa itu banyak pelajar yang enggan memilih dan Pancatinggi yang digagas oleh PKI.
profesi sebagai guru sekolah, namun status dan peran guru ternyata cukup menarik bagi organisasi
politik dan serikat buruh, khususnya dalam menguasai bidang/jalur pendidikan. Banyak politisi dan Kubu Soebandri menunjuk Abdullah S Soepardi dan Goldfriend Macam menjadi calon ketua dan wakil
praktisi mencoba menjadi anggota organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau ketua pada pemilihan Pengurus Besar PGRI. Goldfriend Macam akhirnya dikeluarkan dari pencalonan
sebagai organisasi buruh. Hal ini terlihat sejak pertengahan dasawarsa 1950-an, terutama pasca karena diprotes oleh sebagian besar peserta. Sebagai catatan, Macam merupakan satu di antara
Pemilihan Umum tahun 1955. Oleh karena itu semenjak Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung penandatanganan selebaran “fitnah”. Pemilihan Ketua PB PGRI akhirnya berjalan sesuai agenda dan
kegiatan dan perjuangan PGRI mulai dibina kembali. Para pimpinan Pengurus Besar (PB) PGRI ME Subiyadinata terpilih sebagai Ketua Umum PB PGRI. Pada bulan-bulan pertama PGRI mengalami
waktu itu berusaha meyakinkan berbagai kekuatan politik dan serikat buruh, bahwa PGRI bukan kesulitan besar, terutama karena kekurangan dana (disabot pengurus PGRI yang pro PKI). Meskipun
serikat buruh karena jabatan guru secara hakiki berbeda dan tidak bisa disamakan dengan jabatan demikian kegiatan PGRI dalam upaya memperjuangkan nasib para guru tetap berjalan.
buruh murni.
Untuk memperkuat citra di kalangan masyarakat pada bulan Februari 1963 PKI menyelenggarakan
Meskipun demikian upaya menarik PGRI menjadi bagian dari satu kekuatan politik tetap berjalan, “Seminar Pendidikan Pengabdi Manipol”. Kemudian pada tanggal 17 Juli 1963 lima partai politik (parpol),
bahkan upaya itu disertai pula dengan praktik memecah belah atau mengadu domba para pengurus dengan sekitar 40 organisasi masyarakat binaannya, menyelenggarakan musyawarah “Penegasan
PB PGRI. Praktik adu domba atau memecah belah semakin jelas sejak Kongres IX PGRI yang Pancasila Sebagai Dasar Pendidikan Nasional”. Pengurus PB PGRI ikut sebagai salah satu peserta
diselenggarakan di Surabaya pada bulan Oktober/November 1959. Pada kongres itu sekelompok guru musyawarah tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa musyawarah ini diselenggarakan sebagai reaksi
di bawah pimpinan Soebandri berupaya mengagalkan M.E. Subiyadinata terpilih sebagai Ketua Umum terhadap seminar yang diselenggarakan oleh PKI pada bulan Februari 1963.
202 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 203