Page 28 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 28
Ki Hadjar Dewantara
MASA KECIL DAN PENDIDIKAN
Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat, putra bangsawan Pakualaman Gusti Pangeran Harjo Soerjaningrat dan cucu Sri Paku
1
Alam III. Sebagai bangsawan Jawa Soewardi Soerjaningrat berhak mendapat kesempatan menempuh
2
pendidikan seperti anak-anak bangsa Eropa. Oleh karena itu sekolahnya dimulai di Europeesche Lagere
School (ELS), yakni sekolah rendah untuk anak Eropa. Pengiriman Soewardi dan kerabat Paku Alam
3
ke sekolah Belanda tidak merusak pendidikan kejawaan, sebab di istana Paku Alam—seperti halnya
di istana raja-raja Jawa lainnya—selalu disediakan guru untuk mengajar sejarah, kesusastraan, dan
kesenian dalam arti luas.
Di kalangan keluarga dekat Soewardi dipanggil dengan paraban ‘julukan’ Denmas Jemblung. Nama itu
selengkapnya Jemblung Joyo Trunogati. Nama ini diberikan oleh sahabat ayahnya, Kyai Soleman,
4
yang mendapat firasat bahwa dari tangis bayi yang lembut itu kelak suaranya akan didengar orang di
seluruh negeri. Perutnya yang jemblung ‘buncit’ memberi firasat bahwa bayi itu kelak akan menelan dan
mencerna ilmu yang banyak dan sesudah memasuki masa dewasa akan menjadi pemuda yang penting.
Masa kecil dan remaja Suwardi dikelilingi oleh budaya Jawa bercampur dengan Islam. Walaupun begitu
sejak kecil Soewardi dikenal sebagai orang yang berjiwa merdeka dan penentang. Hal ini membuatnya
Masa Jabatan tidak suka pada tradisi yang diterapkan di keraton, seperti adat ndhodhok sembah, yang mengharuskan
19 Agustus 1945 - 14 November 1945 seseorang berjalan jongkok sambil menyembah jika ingin bertemu dengan raja.
5
Soewardi berkepribadian sangat sederhana dan sangat dekat dengan kawula ‘rakyat’. Jiwanya menyatu
lewat pendidikan dan budaya lokal (Jawa) guna menanggapi kesetaraan sosial dan politik dalam
masyarakat kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar Soewardi dalam memperjuangkan
6
kesatuan dan persamaan lewat nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme publik.
Di lingkungan keluarganya ia merupakan orang yang tekun berolah sastra. Selain itu adanya langgar dan
mesjid di dekat rumahnya mempertebal keyakinan agamanya. Setiap hari Jumat ayah Soewardi sholat
di mesjid bersama ulama-ulama lain. Dari ayahnya, Pangeran Soeryaningrat, yang tinggi keagamaannya,
Soewardi menerima ajaran Islam. Ayahnya memegang prinsip, “Syariat tanpa hakikat adalah kosong,
hakikat tanpa syariat adalah batal”. Selain agama, Soewardi juga mendapat pelajaran adat lama yang
dipengaruhi oleh filsafat Hindu yang tersurat dalam ceritera wayang. Pun seni sastra, gendhing, dan
seni suara dipelajari secara mendalam. Karena sejak kecil dididik dalam suasana religius dan dilatih
mendalami soal-soal sastra dan kesenian lain, maka ketika dewasa ia sangat menyukai dan mahir
dalam bidang-bidang tersebut. Pada waktu tinggal di Negeri Belanda sebagai orang buangan, misalnya,
ia dikenal sebagai ahli sastra Jawa. Ia mendapat undangan Panitia Kongres Pengajaran Kolonial I di
Den Haag untuk ikut serta dalam kongres tersebut (1916) dan diminta menyampaikan prasaran. Soewardi
Soerjaningrat selalu berpendapat bahwa pendidikan kesenian sangat penting, karena pendidikan
1 Yohanes Suryo Bagus Tri. H, dkk., 2014, Memoria Indonesia Merdeka, Jakarta: Megawati Institute, hlm 55.
2 Darsiti Soeratman, 1989, Ki Hadjar Dewantara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 8.
3 Suhartono Wiryopranoto, 2017, Ki Hadjar Dewantara “Pemikiran dan Perjuangannya”, Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, hlm.
9-10.
4 Truno berarti ‘pemuda’, gati (wigati) berarti ‘penting’.
5 Yohanes Suryo, Loc.Cit.
6 Loc.Cit., Suhartono Wiryopranoto.
16 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 17