Page 30 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 30

Ki Hadjar                                                                                                                                                                                                                             Ki Hadjar Dewantara
                          Dewantara dan                                                                                                                                                                                                                         bersama Keluarga
                          Nyonya, beberapa                                                                                                                                                                                                                      (Sumber:
                          saat setelah                                                                                                                                                                                                                          Perpustakaan
                          melangsungkan                                                                                                                                                                                                                         Nasional Republik
                          pernikahan                                                                                                                                                                                                                            Indonesia).
                          (Sumber:
                          Perpustakaan
                          Nasional Republik
                          Indonesia)
























                                                                                                                                                                  kesenian—yang disebut pula sebagai pendidikan estetis—dimaksudkan untuk menghaluskan perasaan
                                                                                                                                                                  terhadap segala bentuk lahir yang bersifat indah. Pendidikan estetis ini melengkapi pendidikan etis atau
                                                                                                                                                                  pendidikan moral, yang bertujuan menghaluskan hidup kebatinan anak. Dengan pendidikan etis anak-
                                                                                                                                                                  anak dapat mengembangkan berjenis-jenis perasaan, seperti religius, sosial, dan individual. 7

                                                                                                                                                                  Sesudah tamat sekolah dasar pada tahun 1904, timbul masalah dalam diri Soewardi, yakni ke mana
                                                                                                                                                                  akan  meneruskan  sekolah.  Akhirnya  Soewardi  masuk  Kwekschool  (Sekolah  Guru)  di  Yogyakarta.
                                                                                                                                                                  Tidak lama kemudian datang dokter Wahidin Soediro Hoesodo di Pura Paku Alaman dan menawarkan
                                                                                                                                                                  siapa yang mau masuk School tot Opleiding voor Indiesche Artsen (STOVIA, biasa disebut Sekolah
                                                                                                                                                                  dokter Jawa) di Jakarta  dengan bea  siswa. Soewardi menerima  tawaran tersebut  dan mendapat
                                                                                                                                                                                                                                              8
                                                                                                                                                                  kesempatan belajar di STOVIA (1905-1910), tetapi bea siswanya dicabut karena tidak naik kelas akibat
                                                                                                                                                                  sakit selama empat bulan. Ia terpaksa meninggalkan sekolah. Dari direktur sekolahnya ia mendapat
                                                                                                                                                                  surat keterangan istimewa atas kepandaiannya dalam bahasa Belanda. Sesungguhnya ada alasan lain
                                                                                                                                                                  yang lebih politis Soewardi dikeluarkan dari STOVIA. Pada suatu pertemuan ia membaca sebuah sajak
                                                                                                                                                                  dengan penuh penghayatan yang menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo. Tentu
                                                                                                                                                                  saja Direktur STOVIA tidak senang pada tindakan Soewardi.
                                                                                                                                                                                                                        9
                                                                                                                                                                  Walaupun tidak dapat menyelesaikan studi di STOVIA, tetapi ia  memperoleh banyak pengalaman
                                                                                                                                                                  baru. Sebagai mahasiswa STOVIA ia harus masuk asrama. Jumlah anak yang tinggal di asrama tersebut
                                                                                                                                                                  sebanyak  200  orang  dan  berasal  dari  berbagai  daerah  di  Indonesia  dengan  agama  berbeda-beda.
                                                                                                                                                                  Bagi Soewardi tempat tinggal yang baru itu berbeda sekali dengan tempat asalnya. Suasana feodal
                                                                                                                                                                  yang dialami di rumah orang tuanya di Yogyakarta tidak terdapat di kota besar Jakarta. Oleh karena
                                                                                                                                                                  itu  ia  harus  menyesuaikan  diri. Seperti  asrama  pada  umumnya,  di  asrama  STOVIA  juga  berlaku
                                                                                                                                                                  peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh penghuninya, misalnya pada malam Idul Fitri penghuni
                                                                                                                                                                  asrama dilarang merayakannya dengan membunyikan petasan; padahal Idul Fitri bagi rakyat Indonesia
                                                                                                                                                                  mempunyai sifat nasional, sehingga yang merayakan bukan hanya orang-orang yang beragama Islam
                                                                                                                                                                  saja dan dengan kebiasaan membunyikan petasan. Oleh sebab itu Soewardi bersama dengan teman-
                                                                                                                                                                  temannya membunyikan beberapa puluh mercon. Akibatnya pemimpin asrama marah dan Soewardi
                                                                                                                                                                  bersama kawan-kawannya dimasukkan ke dalam kamar tertutup sebagai hukuman.
                                                                                                                                                                                                                                            10
                                                                                                                                                                  7     Op.Cit., hlm. 14-15.

                                                                                                                                                                  8     Ibid., hlm. 17-18.
                                                                                                                                                                  9     Ibid., hlm. 150.
                                                                                                                                                                  10    Ibid., hlm. 18-19.




                             18   MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018                                                                                                             MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  19
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35