Page 21 - Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran
P. 21
KRISIS PEMBELAJARAN
F. Evaluasi K13
Dibutuhkan Kurikulum yang Sederhana Kurikulum di banyak negara, menurut kajian
Pritchett dan Beatty (2015), dirancang terlalu
Dari hasil evaluasi yang dilaksanakan ambisius, berorientasi pada standar yang tinggi,
Kementerian dan Kebudayaan di beberapa namun tidak cukup memberikan kesempatan
daerah di tanah air, ditemukan bahwa beban kepada siswa untuk benar-benar memahami
pelajaran yang harus siswa tanggung terlalu materi yang diajarkan. Pritchett dan Beatty
banyak (Puskurbuk, 2019). Lebih lanjut, menggunakan data PISA sebagai landasan
hasil paparan evaluasi pengimplementasian untuk berargumen bahwa tingginya proporsi
Kurikulum 2013 menemukan bahwa adanya siswa Indonesia serta negara berkembang
kekeliruan pemahaman guru tentang konsep lainnya yang tidak dapat mencapai standar
mastery learning. Kebanyakan guru masih minimum menunjukkan bahwa masalah
beranggapan bahwa mastery learning adalah kurikulum ini bukan masalah yang dihadapi
menuntaskan seluruh materi pembelajaran, sebagian kecil siswa, tetapi masalah mayoritas
sehingga malah mengesampingkan siswa.
pemahaman siswa; sementara yang diharapkan
Kurikulum 2013 adalah ketuntasan pemahaman Oleh karena itu, perubahan yang perlu
siswa (Balitbang Kemdikbud, 2019). Akibatnya, dilakukan adalah perubahan sistemik, bukan
peserta didik dan orang tua mengeluhkan hanya intervensi di sekolah atau wilayah
beban pelajaran yang begitu berat. Terutama di tertentu saja. Peserta didik diharapkan untuk
saat ujian, siswa SD harus memahami pelajaran dapat mempelajari materi-materi yang esensial
IPS, IPA, Matematika untuk satu ujian saja sehingga dapat mengejar ketertinggalan
(Maharani, 2014). Demikian pula pada peserta akibat penutupan sekolah dan pembelajaran
didik PAUD yang meskipun pada K-13 tidak online. Untuk mengejar learning loss, kualitas
menjadikan kemampuan baca tulis sebagai pembelajaran lebih diutamakan ketimbang
syarat kelulusan, ternyata ketika masuk pada kuantitasnya.
jenjang SD, siswa secara alamiah harus dapat
membaca karena isi dari materi SD sudah Dibutuhkan Kurikulum yang Mudah
cukup tinggi. diimplementasikan
Bukan hanya itu, beban pelajaran bagi siswa Kajian Puskurbuk (2019) menemukan
dapat dilihat secara kasat mata, sebagai contoh pada umumnya, guru di Indonesia masih
banyaknya buku pelajaran yang harus dibawa terkonsentrasi pada penyiapan dokumen yang
oleh siswa (terutama siswa SD) setiap harinya bersifat administratif. Bahkan, pada penelitian
(Telaumbanua, 2014). Di SMK beban belajar kualitatif pada satu sekolah di Magelang,
siswa bertambah dari 46 jam menjadi 50 jam Khurotulaeni (2019) menemukan bahwa
belajar dalam seminggu (Djaelani, Pratiknto, kebanyakan guru tidak termotivasi untuk
& Setiawan, 2019) sehingga alih-alih satuan membuat RPP, karena bagi mereka aksi di kelas
pendidikan fokus pada penyaluran pada dunia lebih penting daripada pembuatan naskah
usaha dan industri, SMK malah terjebak pada berlembar-lembar yang rumit dan komplek.
pemenuhan kurikulum. Horn dan Banerjee (2009) mengkritisi praktek
guru di negara berkembang yang terkesan
KAJIAN AKADEMIK KURIKULUM UNTUK PEMULIHAN PEMBELAJARAN 21