Page 28 - Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas X
P. 28
Raja Daśaratha melahirkan putra. Yang tertua bernama Rāmā, lahir dari Kauśalyā.
Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kaikeyī, dan yang terakhir adalah Lakṣmaṇa dan
Satrugṇa, lahir dari Sumitrā. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putra yang
gagah-gagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Rsi Wasista.
Pada suatu hari, Rsi Visvamitra datang menghadap Raja Daśaratha. Daśaratha
tahu benar watak Ṛsī tersebut dan berjanji akan mengabulkan permohonannya sebisa
mungkin. Akhirnya Sang Ṛsī mengutarakan permohonannya, yaitu meminta bantuan
Rāmā untuk mengusir para raksasa yang mengganggu ketenangan para Ṛsī di hutan.
Mendengar permohonan tersebut, Raja Daśaratha sangat terkejut karena merasa tidak
sanggup untuk mengabulkannya, namun ia juga takut terhadap kutukan Ṛsī Visvamitra.
Daśaratha merasa anaknya masih terlalu muda untuk menghadapi para raksasa,
namun Ṛsī Visvamitra menjamin keselamatan Rāmā. Setelah melalui perdebatan dan
pergolakan dalam batin, Daśaratha mengabulkan permohonan Ṛsī Visvamitra dan
mengizinkan putranya untuk membantu para Ṛsī.
Di tengah hutan, Rāmā dan Lakṣmana memperoleh mantra sakti dari Ṛsī Visvamitra,
yaitu bala dan atibala. Setelah itu, mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para
Ṛsī di Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rāmā, Lakṣmana, dan Ṛsī Visvamitra
melewati hutan Dandaka. Di hutan tersebut, Rāmā mengalahkan rakshasi Tataka
dan membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rāmā sampai di Sidhasrama
bersama Lakṣmana dan Ṛsī Visvamitra. Di sana, Rāmā dan Lakṣmana melindungi
para Ṛsī dan berjanji akan mengalahkan raksasa yang ingin mengotori pelaksanaan
Yajña yang dilakukan oleh para Ṛsī. Saat raksasa Marica dan Subahu datang untuk
megotori sesajen dengan darah dan daging mentah, Rāmā dan Lakṣmana tidak tinggal
diam. Atas permohonan Rāmā, nyawa Marica diampuni oleh Lakṣmana, sedangkan
untuk Subahu, Rāmā tidak memberi ampun. Dengan senjata Agni Astra atau Panah
Api, Rāmā membakar tubuh Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rāmā membunuh
Subahu, pelaksanaan Yajña berlangsung dengan lancar dan aman.
Dalam bahasa Sansekerta, kata Sītā bermakna “kerut”. Kata “kerut” merupakan
istilah puitis pada zaman India Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan.
Nama Sītā dalam Rāmāyana kemungkinan berasal dari Dewi Sītā, yang pernah
disebutkan dalam Ṛgveda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil
panen yang bermutu. Seperti tokoh terkenal dalam legenda Hindu lainnya, Sītā juga
dikenal dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia dipanggil Janaki; sebagai
putri Mithila, ia dipanggil Maithili; sebagai istri Raama, ia dipanggil Rāmāa. Karena
berasal dari Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi.
Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja melakukan
upacara atau Yajña di suatu area ladang antara lain dengan cara membajak tanahnya.
Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi bayi perempuan. Bayi
itu dipungutnya menjadi anak angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi
dan kesuburan. Sītā dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan
Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun mengadakan
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti | 21