Page 29 - untitled
P. 29

Gambar 1.5 Menanyakan hari baik untuk pelaksanaan Yadnya.
                       Perhitungan di dalam ilmu jyotisha  menggunakan bumi sebagai patokan,

                   di mana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk
                   penyederhanaan perhitungan astronomi yang dilakukan. Sebab dalam weda
                   menganut heliosentris (matahari merupakan pusat dari tata surya), bukan
                   geosentris (di mana bumi dikatakan sebagai pusat dari tata surya).

                       Pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan, dan bintang menimbulkan

                   pemaknaan yang akhirnya menjadi ilmu astrologi. Melihat posisi planet
                   dan bintang, para maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya
                   kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain-lain.

                       Masyarakat  Hindu Bali menerapkan ajaran jyotisa      ini sebagai ilmu
                   Wariga atau Dewasa di mana sering digunakan dalam menentukan hari baik

                   dalam bidang pertanian, perjodohan, kelahiran, pendewasaan, dan lainnya.
                   Mirip dengan astronomi dan astrologi pada Jyotisha.

                       Perkembangan ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian
                   akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai
                   penyesuaian yang diperkirakan terjadi di masa pemerintahan Mpu Sindok.
                   Saat sang putri, yakni Sri Isyana Tunggawijaya menikah dengan Raja

                   Udayana, maka pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan
                   pawukon dan wewaran.






                                                                     Bab 1 Kitab Wedangga  | 13
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34