Page 25 - My FlipBook
P. 25

Sore itu biasanya aku mengajak dua balitaku untuk main keluar. Kami main di lapangan

               badminton di dekat rumah. Lapangan satu-satunya yang sudah dibuat permanen dan standard
               fasilitasnya. Anakku yang besar biasanya akan main lari-larian dengan memainkan kumbang

               tanduk yang sudah mati dan bangkainya berserak di lapangan. Sementara anakku yang kecil
               masih belajar berjalan. Aktivitas ini kulakukan sembari menunggu planterku pulang kerja.

                     Tak  berselang  lama,  planterku  sudah  terlihat  pulang.  Dia  melambai  meminta  kami

               menyertainya. Setelah rehat sebentar, terlihat dia sibuk ke belakang, tempat kami menanam
               bibit kelapa sawit. Tak berselang lama, dipanggilnya aku untuk turut serta bersamanya. Setelah

               meminta pada pengasuh untuk menjaga dua balitaku, segera aku menyusulnya.
                     Planterku memintaku untuk menyiram tanaman bibitan tersebut karena kelihatan layu

               dan berdaun kuning. Biasanya bibitan itu disiram karyawan yang kami bayar. Namun entah

               kenapa, hari itu dia tidak datang untuk menyiram. Jadilah planterku sibuk sepulang kerja. Agar
               cepat selesai, aku diminta menyiram tanaman yang ada di samping rumah. Aku menyiram

               menggunakan air selang yang dipompa mesin. Sementara, planterku menyiram menggunakan
               ember yang airnya diambil langsung dari sumur/ manual tanpa mesin.

                     Jarak kami tidak cukup jauh, tapi karena terhalang oleh belukar dan suara bising mesin
               air, aku tidak mendengar dan tidak tahu jika ada sesuatu yang terjadi pada planterku. Sore itu

               sudah menuju senja. Sudah tidak nampak orang di jalanan. Aku terus saja melanjutkan aktivitas

               menyiramku  sampai  selesai.  Baru  setelah  itu  aku  ke  belakang  di  mana  tempat  suamiku
               menyiram tanaman bibitan, aku terheran melihat suamiku yang duduk di tanah samping sumur

               dengan tubuh basah kuyup sembari membersihkan tangan dari lumpur.
                     ‘Kenapa, Yah?’ tanyaku buru-buru mendekat.

                     ‘Kenapa baru datang. Dari tadi kupanggil-panggil, kamu gak datang menolong.’ Katanya

               lirih.
                     ‘Astaghfirullah, aku tidak dengar. Emang ada apa?’ tetap saja aku belum sadar apa yang

               telah terjadi.
                     ‘Aku terjatuh ke sumur.’ Katanya.

                     ‘Astaghfirullahal’adhiim…..  Yaa  Allah,  Ayah…’  kataku  sambal  menangis.  Kupeluk

               kakinya, kuajaknya masuk rumah setelah semua kubersihkan.
                     Yaa Allah Ya Robbii, ternyata saat mengambil air dengan ember, kayu yang melintang

               di  atas  sumur  yang  dipakai  untuk  pijakan  itu  patah.  Karena  tidak  ada  persiapan,
               keseimbangannya hilang. Jadilah kejadian ini menimpa planterku.

                     Semalaman  kuusap  lukanya,  kuobati  tangan  dan  kakinya  yang  memar  dan  berdarah
               karena berusaha menggapai tanah keras untuk sampai di atas permukaan. Yaa Robbi…. Rasa
   20   21   22   23   24   25   26   27