Page 237 - Gabungan
P. 237

membayangkan pernikahan mereka nanti—tidak seperti Slamet yang


            menikah secara Islam di rumah, tapi di gereja terbesar di Kota Naga,


            di bawah salib Yesus, dihadiri pendeta. Tamu undangan memenuhi


            gereja,  karangan  bunga  sampai  ke  luar.  Dalam  alunan  lagu


            pernikahan khidmat, diiringi tepuk tangan tamu, mempelai berjalan


            pelan diantar orang tua.


                Su Wenbin tak punya ayah, hanya ibunya. Tapi siapa yang akan


            mengantarnya? Pak Bai? Atau  Pak Untung Budiman  dan  Bu Yati?


            Atau pengacara Zhu Mi dan Nona Bai Wenying? Sepertinya semua


            bisa, tapi tak ada yang pas! Pikiran ini membuat Yenni pusing dan


            menghela napas.


                "Kamu memikirkan apa, Yenni?" tanya Su Wenbin penuh perhatian.


                "Tidak. Aku hanya lelah," jawab Yenni.

                "Apakah  Rahmat  itu  sudah  naik  haji?"  Su  Wenbin  mencoba


            mengalihkan topik.


                "Tentu, baru bisa dapat gelar 'Haji' kalau sudah ke Mekah. Orang


            bergelar Haji sangat dihormati. Biasanya pakai peci putih berbentuk


            mangkuk," jelas Yenni. "Sepertinya kamu juga paham agama Islam?"


                "Tidak terlalu. Hanya baca dari buku. Misalnya di Reader's Digest


            ada  artikel  tentang  jamaah  haji  yang  berteriak  'Allah'  di  terik


            matahari—sungguh mengharukan. Banyak orang menabung puluhan


            tahun  atau  menjual  warisan  hanya  untuk  beli  tiket  ke  Mekah. Ada

                                                           237
   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241   242