Page 32 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 32

Aku terbengong-bengong melihat tingkah Arai.
                  Ibuku  sibuk  menggulung  kabel  telepon  yang  kami
              campakkan.  Aku  semakin  tak  mengerti  waktu  Arai  bergegas
              membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayam jagonya,
              dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang logam berserakan di
              lantai. Napasnya memburu dan matanya nanar menatapku saat
              ia mengumpulkan uang  koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata
              pun  dan  pada  detik  itu  aku  langsung  terperangkap  dalam
              undangan ganjil dari sorot matanya. Seperti tersihir aku tergoda
              pada  berbagai  kemungkinan  yang  ditawarkan  kelakuan
              sintingnya. Tanpa berpikir panjang aku menjangkau celenganku
              di  dasar  peregasan  dan  melemparkannya  ke  dinding.  Aku
              terpana  melihat  koin-koin  tabunganku  berhamburan,  baru  kali
              ini aku memecahkan ayam jago dari tanah liat itu.
                  Arai terkekeh.
                  Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil
              pun  tahu  apa  rencana  Arai.  Yang  kutahu  adalah  Allah  telah
              menghadiahkan  karisma  yang  begitu  kuat  pada  sang  Simpai
              Keramat  ini—mungkin  sebagai  kompensasi  kepedihan  masa
              kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku. Atau
              mungkin  juga  aku  bertindak  tolol  karena  persekongkolan  kami
              sudah mendarah daging.
                  “Kumpulkan semua, Ikal!! “
                  “perintahnya bersemangat.  “
                  “Masukkan ke dalam karung gandum. “
                  “Koin-koin itu hampir seperempat karung gandum.
                  'Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!! “
                  “Kami  berlari  menuju  sepeda  sambil  menenteng  karung
              gandum  yang  berat  gemerincing.  Kelakuan  kami  persis
              perampok  telepon  koin.  Arai  mengayuh  sepeda  seperti  orang
              menyelamatkan  diri  dari  letusan  gunung  berapi.  Di  luar
              pekarangan  ia  menikurtg  tajam  dalam  kecepatan  tinggi.  Aku
              pontang-panting  mengikutinya  dengan  hati  penasaran.  Yang
              terpikir  olehku  kami  akan  menghibahkan  tabungan  kami  untuk
              Mak Cik. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku tak keberatan.
                  Tapi  ketika sepeda  melewati  perempatan,  Arai  berbelok  ke

                                          30
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37